Kata siapa sepatu tidak layak untuk memiliki perasaan? Layak-layak saja kok. Oh, oke! Mungkin istilah yang aku gunakan di sini terlalu hem... hiperbolis? Aku menyebut diriku sendiri sepatu. Sungguh sifat merendah yang bermartabat? Tapi laki-laki itu benar-benar menganggapku sebagai sepatu. Menginjakku. Laki-laki itu memang kaya dan bertampang lumayan, tapi ia angkuh. Turun dari hammer hitamnya dan masuk tanpa memandangku. Tapi kenyataan bahwa ia angkuh, sama sekali tidak menyurutkan rasa kagumku. Aku sendiri heran, bagaimana bisa?
Hari ini, aku melihatnya... dengan wanita lain. Bukan wanita lain sih, mungkin wanita itu pacarnya, toh aku sendiri memang tidak mengenalnya. Tapi aku tidak rela kalau wanita itu pacarnya. Apa aku egois?
Aku berdiri di depan pintu masuk dengan kedua tangan mendekap buku menu di depan dada. Yah... aku bekerja sebagai waitress sebuah restoran Jepang. Pekerjaan yang menyenangkan memang, tapi bisa menjadi tidak nyaman ketika laki-laki itu muncul. Gugup selalu merecokiku.
Pelanggan. Boleh dibilang lelaki itu adalah pelanggan setia resto tempatku bekerja. Tubuh tinggi tegapnya yang terbungkus sempurna di dalam kaus, menonjolkan dada bidangnya dan selalu mampu melumpuhkan otakku. Kadang ia memakai kemeja rapi sekali, seperti hari ini. Ketika ia muncul di halaman resto bersama wanita itu, bola mataku mendadak membesar dan ketika menyambutnya aku seperti sedang mengembik saking gugupnya. Aku selalu gugup walaupun ia tidak pernah melempar lirikannya kepadaku.
Oke, kali ini aku kembali mengembik ketika mencatat pesanannya. Aku mencatat sambil menikmati wajah bersihnya dan sunggingan senyumnya. Tapi sayang sekali, senyum itu bukan untukku. Apa memang senyumnya khusus diberikan kepada wanita itu? Kalaupun aku disuruh membayar hanya untuk senyumnya itu, aku bersedia kok. Ugh, aku benar-benar merendahkan diriku sendiri.
Rambut cepak kecoklatannya selalu nampak mencolok di mataku. Terkadang aku hanya pura-pura mencatat karena aku selalu hapal menu favoritnya. Selalu itu, beef teriyaki, teba, dan ocha. Tetapi setiap melihatnya dengan wanita itu, aku mendadak malas melayaninya. Ingin rasanya aku berteriak sadis ketika menanyakan menu. Tapi aku tak sebodoh itu. Memangnya aku ingin dipecat? Tidak. Aku butuh sekali pekerjaan.
“Baik, Kak, ditunggu sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi,” kataku. “Kalau ada tambahan, bisa panggil saya. Permisi,” aku melenggang kangkung meninggalkan mereka berdua.
Aku cemberut ketika menyerahkan catatan pesanan lelaki dan wanita itu kepada temanku. Dan sungguh pekanya, temanku selalu tahu kalau aku sudah bersikap seperti itu.
“Terlalu sadis caramu... memainkan diriku...” Vika menggodaku dengan menyanyikan lagu Afgan. Tapi aku tak peduli ketika daguku mulai ditoelnya.
“Sori deh nggak ada receh!” sungutku. Aku menyiapkan saos, sumpit, dan tisu di tray. Vika ngakak ketika melihat mukaku yang kusut. Bayangkanlah kertas yang kamu remas-remas kemudian buka. Nah, kurang lebih seperti itulah wajahku saat ini.
“In, buruan anterin nih minumnya!” Aku tersentak ketika bahuku disodok oleh Andi si barista.
Aku menoleh, berusaha tersenyum dan menggumamkan kata oke. Aku berjalan perlahan, satu tangan menyangga nampan bundar berisi ocha dan es sarang burung.
“Permisi, Kak, silakan pesanannya,” aku meletakkan gelas itu. Gemetar? Tentu saja. Siapa yang tidak gemetar ketika melayani orang yang ditaksirnya? Senyumku masih aku pasang dengan paksa, sampai-sampai saraf-saraf di sekitar mulutku terasa pegal sekali. Kalau saja lelaki itu hanya sendiri, mungkin caraku meletakkan gelas akan aku perlambat. Slow motion gitu, seperti adegan romantis di film-film. Tapi berbeda dengan sekarang, ada wanita itu yang membuat adegan slow motion-ku harus aku hancurkan dengan sadis. Bahkan gerakanku kupercepat secepat shinkansen. Lebih tepatnya shinkansen gemetaran.
“Ultahku besok, kita ke Bali ya, Sayang?” Alisku terangkat ketika mendengar rentetan kalimat meluncur lancar dari mulut wanita itu. Diam-diam aku melirik lelaki itu. Apa? Dia tersenyum. Perutku mendadak mual.
Melempar wajah wanita itu dengan nampan sepertinya ide yang bagus. Tapi aku buang habis ide itu. Sebagai gantinya aku mundur selangkah, membalikkan badan, dan berjalan menjauh. Vika tersenyum prihatin.
“Nggak usah nebak yang bukan-bukan,” semburku. “Aku nggak patah hati kok!” Tentu saja aku berbohong.
Vika mencibir, “Siapa yang nebak? Udah ke-ta-hu-an...” ujarnya, “...dengan jelas!” Ia menatap tajam mataku. Senyumnya berpusing di sudut bibirnya.
“Ha ha ha...” aku menyemburkan tawa itu persuku kata. “Cewek itu pacarnya. Tebak, darimana aku tahu?!”
Vika menatapku antusias. “Darimana?”
Aku mengangkat bahu sejenak, “Mungkin nggak sih, kita manggil temen kita SAYANG?” Aku menekankan intonasi ketika mengucap kata ‘sayang’. “Cewek tadi manggil cowok itu Sayang.”
Vika mengangguk.
“Mungkin? Gimana bisa?” tanyaku heran. Sebenarnya anggukan Vika bisa saja membuatku bahagia, karena kemungkinan mereka hanya berteman itu ada.
“Yah, bisa aja mereka teman tapi manggilnya Sayang,” ujarnya. “Kamu bisa kok manggil Andi dengan kata Sayang.”
“Hah?” Aku menoleh ke belakang menghadap Andi yang sedang berdiri santai, mencermati sebuah kertas. “Sstt... Sayang!” desisku. Tapi sepertinya Andi tidak mendengar, ia masih asyik mencermati kertas itu.
“Andi Sayang!” Aku menaikkan volume desisanku. Kali ini berhasil, Andi mendongak dengan mulut terbuka. Mungkinkah ia tercengang mendengar kata Sayang ditujukan kepadanya? “Apa?” Oh, sepertinya ia tidak tercengang. Bahkan ia terlihat biasa saja. Dan entah apa yang salah, tiba-tiba udara yang masuk ke paru-paruku seketika lancar dan kuhembuskan kuat-kuat.
***
Malamnya, aku berguling-guling di atas kasur. Menatap langit-langit dan bergumam tidak jelas. Isi kepalaku hanya ada wajah laki-laki itu. Wajah dengan rahang tegas itu terus membayang, membuatku gila setengah mati. Aku tidak normal, pikirku.
“Errgh...” erangku frustasi. Tidak pernah aku begini, ini terlalu tidak biasa. Sejak kapan otakku dikendalikan oleh nafsu? Nafsu? Iya. Bayangan-bayangan tentang dada bidangnya, rahang tegasnya, senyum menawan, bukankah itu terlalu bernafsu. Oh, ya ampun! Aku menggeleng keras mengusir bayangan nista itu.
Aku melirik jam beker mungilku. 00.10 WIB. Tapi mataku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bahkan mataku seperti lampu 100 watt. Toh, besok aku libur kerja. Jadi aku membuat kesepakatan sendiri, bergadang sangat dianjurkan.
***
Suara adzan subuh membangunkanku. Rasanya beraaat sekali. Separuh nyawa masih di alam mimpi, tapi aku mampu menghitung berapa jam aku tidur. Kira-kira baru sekitar 2 jam yang lalu aku terlelap. Aku melakukan kebiasaan yang tak biasa ketika mataku sulit diajak kompromi, mencubit kecil pahaku. “Aww,” pekikku seperti biasa. Kalau tidak begitu, mataku akan terus menutup, mungkin sampai nanti jam 9 pagi.
Aku menyeret langkahku dengan berat, menuju pintu. Dengan kondisi mata yang masih setengah tertutup dan dengan bantuan tembok, akhirnya aku mampu mencapai gagang pintu. Membukanya tanpa semangat. Keningku terantuk pinggiran pintu, ngilu.
“Makasih,” erangku sambil mengusap kening. Aku harus mengambil hikmah atas musibah kecil ini, rasa kantukku sedikit menguap dan aku sukses sampai di kamar mandi.
Selesai shalat subuh, aku berdoa, “Ya Allah, beri hamba petunjuk. Jangan biarkan hamba dipenuhi dengan pikiran kotor,” aku bergumam, “Jika lelaki itu jodoh hamba, dekatkanlah. Jika bukan jodoh, jauhkanlah dengan cara ajaib-Mu, asal jangan sampai hamba merasa sakit hati, Ya Allah. Amiiiin...” Aku menangkupkan kedua telapak tangan ke wajah dan langsung ambruk ke depan.
Aku bermimpi. Entah apa, yang jelas penuh warna. Me ji ku hi bi ni u. Pelangi. Aku meluncur di atasnya seperti di film-film kartun. Bukankah itu menyenangkan?
***
“KAMU MANJA. APA-APA SELALU PENGEN YANG TERBAIK!” Teriakan itu seketika menyedot perhatian orang-orang di sekitar atrium mall, termasuk aku dan seketika aku tercengang. “AKU DIEM SELAMA INI, TAPI KAMU NGGAK PERNAH BERUBAH. AKU MUAK SAMA KAMU!”
Laki-laki itu adalah sosok yang membuatku gila akhir-akhir ini. Kemarin mereka terlihat santai dan romantis. Apa keromantisan itu tidak bisa dijadikan tolok ukur seberapa harmonisnya sebuah hubungan. Apa perasaan yang mereka rasakan begitu dangkal? Aku merasa bersalah. Apa mungkin ini semua terjadi gara-gara doaku tadi pagi? Ah, sepertinya tidak mungkin.
“JADI ITU YANG ADA DI PIKIRAN KAMU SELAMA INI?” Wanita itu balas berteriak. “KENAPA NGGAK NGOMONG DARI DULU? AKU MEMANG PENGEN JADI NOMOR SATU! KENAPA? NGGAK TRIMA?”
“IT’S OVER!” Laki-laki itu berderap cepat meninggalkan wanita itu. Wajahnya terlihat garang, menyiratkan kemarahan yang mendalam. Wajahnya merah, seakan semua darah berkumpul di wajahnya.
“OKE!” Wanita itu berteriak lantang. Ia menghentakkan sebelah kakinya, melempar kantong belanjaan begitu saja. Huuu... baju mahal-mahal dibuang begitu saja dan ia berlalu pergi dengan langkah yang dihentak-hentakkan ke lantai mall. Apa wanita itu punya duit segudang, membeli baju hanya untuk dibuang? Kalau saja urat maluku sudah putus, akan kuambil baju itu. Tapi... lebih baik jangan. Dosa.
Tanpa peringatan lebih dahulu, aku terhuyung ke belakang ketika tubrukan hebat itu menghantamku. Bayangan tentang pantatku yang akan mendarat keras di lantai, sirna ketika sebuah tangan mendekap pinggangku. Mataku terpejam dan aku tidak berani membukanya. Mulutku terkatup rapat. Kedua tanganku mencengkeram erat tangan itu. Tangan kekar itu membuatku merinding. Aroma maskulin memanjakan hidungku.
“Sori,” laki-laki yang menangkap tubuhku bergumam. Mataku masih terpejam. Mengapa membuka kelopak mata saja seperti membuka kaleng sarden? Sulit sekali.
Akhirnya aku bisa membuka kaleng sarden itu, euuh... maksudku mata. Dan... oh no no no, degup jantungku nyaris terdengar kemana-mana. Laki-laki itu, laki-laki yang membuatku gila, laki-laki yang mempunyai dada bidang, senyum menawan, rahang tegas (doa belum berhasil, pikiran kotor masih merajalela). Somebody, help me, please...! Lempar kantong oksigen sekarang juga.
Cepat-cepat aku berdiri. Kalau saja tangan laki-laki itu tidak menangkapku lagi, mungkin aku akan nyaris jatuh untuk yang kedua kali karena aksi berlebihanku. Grogi akut menyerangku tiba-tiba. Dalam kondisi normal, aku hanya butuh beberapa detik untuk berdiri tegap. Tapi kali ini, berdiri tegap butuh waktu satu menit penuh, itupun dengan bantuan orang lain. Aku sungguh kacau. Aku menundukkan kepala dalam-dalam, rasanya hidungku seakan menyentuh lantai mall.
“Sori banget, ya!” Laki-laki itu kembali bergumam.
Dari menunduk, aku menegakkan kepala. Tapi aku tidak melihat wajah tampannya, hanya dada yang tertangkap mataku. Dan aku bersyukur, karena aku tidak harus bertatapan dengannya, aku rela berbicara dengan dadanya.
Aku mengangguk pelan. “Nggak apa-apa kok!” Mataku masih menatap dadanya. Tapi secepat mungkin aku kembali menunduk sebelum ia berpikiran yang macam-macam.
“Kamu...” ia menggantung kalimatnya, “... yang kerja di resto itu bukan sih?” tanyanya.
Rasanya seperti dilempar ke atas tumpukan yupi. Kenyal, manis, menyenangkan. Ia mengenaliku. Aku kira, ia tidak mengenaliku. Bukankah selama ini ia tidak pernah menatapku. Bahkan aku pernah menebak, aku hanya orang-orangan sawah di matanya. Atau mungkin sepatu? Melihat sikap angkuhnya selama ini, aku kira ia tidak sudi menatapku. Aku kira, ia hanya mengenali wanita-wanita cantik sederajatnya. Tapi, serius nih? Untuk memastikannya, aku mendongak perlahan.
“Naah... benar, kan!” tebaknya. Ya ampun, bahkan ia mau repot-repot menebak.
Aku mengelus tengkukku canggung. Bingung mau bersikap yang bagaimana? Aku hanya sanggup tersenyum.
“Kamu nggak kerja?” tanya laki-laki itu.
“Nggak! Aku jatah libur,” benar-benar garing deh.
“Oh iya, nama kamu...” ia terlihat berpikir. “... Indy?” tanyanya skeptis.
Wow... rasanya aku ingin memberinya piala. Ia tahu namaku. Apa mungkin selama ini ia diam-diam melirik name tag-ku ketika aku melayaninya. Tidak mungkin, kan, hanya melihat sekali langsung ingat. Ia pasti melirik name tag-ku berkali-kali. Yah... minim tiga kali lah! Aku mengangguk mantab.
“Davin!” Ia mengulurkan tangannya dan akupun langsung menyambutnya.
***
Sudah tiga hari ini Davin makan siang di resto. Kita sudah mengenal satu sama lain. Sikap angkuhnya menguap entah kemana dan aku tidak harus membayar mahal untuk mendapatkan senyumnya. Aku sendiri bingung, apa yang membuatnya berubah secepat itu? Vika tidak berhenti menggodaku ketika hammer itu memasuki area parkir karena ia tahu pasti jantungku berdegup 3 kali lebih cepat. Aku beberapa kali mengobrol dengannya. Tentang apa saja.
Hari ini shift pagiku yang terakhir. Bu Ine, managerku, memberiku jatah empat hari shift pagi. Aku resah seharian ini, tumben sekali Davin tidak menampakkan batang hidungnya. Rasanya seperti tidak biasa. Jam dinding di resto sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, dan itu berarti setengah jam lagi aku pulang. Ugh, menyebalkan! Atau mungkin saja, Davin sudah bosan makan di resto ini? Tapi aku terlalu naif kalau berpikir demikian. Bukankah setiap orang mempunyai tingkat kebosanan masing-masing. Masak iya Davin harus makan di resto ini setiap harinya. Ia, kan, butuh variasi yang lain. Atau mungkin ia sudah bosan mengobrol denganku? TIDAK!!
Jam empat tepat, aku sudah berkemas. Setelah berpamitan dengan yang lain, aku melenggang menuju pintu keluar. Dan... langkahku seketika terhenti ketika mataku menangkap sosok laki-laki yang sedang melepas helm. Laki-laki itu masih nangkring di atas motor cowok hitamnya. Davin?
Aku berjalan mendekat. “Makan sore?” tanyaku.
Davin mengangguk. “Kamu tahu nggak tempat makan enak selain di sini?”
Keningku berkerut samar kemudian mengangguk.
“Anterin yok, dari pagi belum makan!” Mataku membelalak.
Hal terakhir yang aku sadari adalah aku sedang duduk manis di dalam warung bakso. Davin duduk manis juga di depanku. Apa ini jawaban doaku? Apa dengan cara begini Allah mendekatkanku dengan Davin. Kok cepat sekali doaku direspon? Hihi... aku tersenyum tertahan mengingat doaku beberapa hari yang lalu.
Davin mulai mengoceh tentang apa saja. Dan ketika aku iseng bertanya tentang wanita itu, aku tidak pernah menyangka kalau Davin akan menjelaskannya secara gamblang. Apa begitu mudahnya dia percaya sama orang? Aku, yang baru dikenalnya beberapa hari ini? Oke, mungkin aku sudah dilihatnya ratusan kali, tapi kan kita baru resmi berkenalan beberapa hari yang lalu. Apa mungkin memang tampangku termasuk tampang orang yang mudah dipercayakan menyimpan suatu rahasia? Tapi kalau aku pikir secara mendalam, sebisa mungkin aku menyimpan rahasia teman-teman yang curhat kepadaku. Aku menghargai kepercayaan mereka dan aku tidak akan mengkhianatinya. Walaupun dibayar semilyar untuk membocorkan satu rahasia, insya Allah aku akan tetap berpegang teguh untuk tetap menyimpannya hanya untukku sendiri.
Wanita itu memang pacarnya. Lebih tepatnya mantan calon tunangannya. Namanya Meta. Mungkin nama lengkapnya Metamorfosis. Aku yakin sekarang bukan jaman Siti Nurbaya lagi, tapi toh ternyata masih ada perjodohan. Davin dan Meta adalah korban perjodohan orang tua mereka. Meta memang sangat antusias dengan perjodohan itu, tapi tidak begitu dengan Davin. Ia merasa terkekang, Meta selalu mencampuri segala tetek bengek tentang urusannya.
Tidak boleh melirik wanita lain walaupun sedang sendiri.
Tidak boleh smsan dengan wanita lain.
Tidak boleh mengobrol dengan sembarang wanita.
Harus mau mengantarnya kemana-mana.
Harus membalas semua sms-smsnya.
Harus mau bla bla bla
Kalau aku hitung-hitung, mungkin selembar kertas pun akan kurang kalau aku menuliskan semua aturan-aturan sialan itu. Jadi selama ini Davin bukan angkuh, ia hanya sedang menjalankan salah satu dari ratusan aturan yang Meta camkan. Naif banget sih, Davin! Memang.
Tapi akhirnya ia sadar, ia cukup mempunyai keberanian untuk mengambil suatu keputusan. Meta memang gadis yang sangat cantik dan menawan, ia mempunyai wajah seperti Barbie. Tapi sayangnya, Meta bukan gadis yang baik.
Davin laki-laki, harus bertindak tegas, ia tidak mau terus diperbudak oleh Meta. Dimana harga dirinya sebagai lelaki? Tetapi bukan berarti ia harus bertindak semena-mena terhadap wanita. Ia justru akan menghargai wanita yang bisa menghargai dirinya dengan baik.
Aku menghembuskan napas kuat-kuat, ketika Davin mengakhiri cerita. Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak. Tapi bukankah itu tindakan tidak sopan? Oke, akan aku simpan sampai nanti di rumah. Di rumah aku bisa tertawa sepuas mungkin.
“Terus, gimana ke Balinya?” tanyaku iseng.
“Kamu pasti nguping?” tuduhnya.
“Hellooo... liat dong, aku punya dua telinga. Jadi, nggak perlu repot-repot nguping!”
Davin ngakak. “Terus, apalagi yang kamu denger?”
Aku memaksa otakku bekerja. Mengingat-ingat apalagi yang aku dengar. Heem... sepertinya tidak ada. Aku menggeleng.
Davin tersenyum puas. “Nggak inget, kan? Apa yang mau diingat. Kan waktu itu aku memang nggak jawab apa-apa!”
“Tapi, kan, diam berarti iya. Buktinya kamu senyum.”
Davin mengacak-acak pucuk kepalaku. “Teori mana tuh! Kok aku nggak tahu?”
Akhirnya, sore itu, di warung bakso, aku memutuskan sesuatu. Menjadi teman Davin itu sangat menyenangkan. Aku terlalu takut untuk berharap lebih. Dan... menjadi temannya saja cukup, ya Allah. Terima kasih. Jabatan sebagai secret admirer sepertinya masih melekat di keningku. Dulu : Dekat namun tidak mengenalnya dan aku diam-diam mengagumi. Sekarang : Dekat namun aku sudah mengenalnya, bahkan tahu cerita-ceritanya, dan aku masih diam-diam mengaguminya. Sekali lagi, MENJADI TEMANNYA SAJA CUKUP.
62 comments
fiksi yaaa??
tapi kerennn
pengen dong bisa ketemu davin d dunia nyata
haha
=P
wah ternyata emang kualitasnya keren tulisannya. .. . dibukukan aja wur. . .
Kunjungan perkenalan.. salam kenal.
Alur yang keren, mbak! Ane kayak nongkrong di resto itu. Jd saksi mata dan merasakan sesuatu. Tentu aja sesuatu yg dirasakan oleh reader macem ane. Tp mungkin lebih! Haha
hubungan pertemanan bisa jadi lebih langgeng daripada pacaran lho wury....hehe...cerpen nya bagus, mengalir dan enak di baca...
ceritanya menarik sekali, untung endingnya ga jadian, cuma temenan.
pasti dalam hati tulisan di penghujung tsb adalah karena kurang percaya diri ?
aku tahu bagaimana rasa'a mengagumi & mengungkapkan hanya sebagai temen,kadang itu terlalu hambar tapi untuk menjaga hubungan sederhana itu memang terkadang kita harus mengalah pada ego kita
Mengangumi dalam diam.. atau pura-pura untuk tidak kagum??
untuk filosopi seperti sepatu keren..
tapi cewe ngga seperti itu kok dimata cowo..
=D
saran : paragrafnya di enter sekali dong biar ngga cepet lelah bacanya.. karena ini lumayan panjang..
Keren banget ceritanya, kenapa indinya ga pacaran aja sama davin? kan lebih happy ending. Untuk gaya bahasanya bagus gampang dipahami
ceritanya bagus... kenapa endingnya mereka tidak menikah? :D
PertamaX
wahh ceritanya bagus, ijin bookmark ea
salam kenal
Assalamualaikum Bismillah Alhamdulillah | Wah PERTAMAX mbak....? Hehehehe Btw aq suka backgroundnya bagus bnget mbak...? Kunjungi balik ya...?| Alhamdulillah Wassalamualaikum.
penjabaran wanita bangettt :D
di tunggu postingan selanjutnya ya..
doanya mujarab yang “Jika lelaki itu jodoh hamba, dekatkanlah. Jika bukan jodoh, jauhkanlah dengan cara ajaib-Mu, asal jangan sampai hamba merasa sakit hati, Ya Allah. Amiiiin...” apalagi kalo di edit sedikit. 'klo emang ia bukan jodohku, tolong tuhan pertimbangkan lagi. klo ia jodoh orang lain, tolong tuhan putuskan dan jodohkan hanya denganku' hahah....
tapi endingnya menarik, diam diam si cowonya juga suka ya. end ending kalimatnya juga asik, 'MENJADI TEMANNYA SAJA CUKUP' benar benar rendah hati ini cewe. kapan ya ane punya cewe pengagum kaya begini... hahah, ngarep.
cie ..cie ... si sit cuitttt .... :D
benarkah cukup menjadi seorang teman? tepatnya, pengagum rahasia? :p
saya tahu rasanya seperti apa :D
mengagumi diamdiam, kemudian berkenalan tanpa sengaja, dan karena suatu hal menjadikan dia dan saya saling berkomunikasi
cukup bahagia bisa menjadi temannya saja, ngga lebih pun cukup bahagia :)
wow...... aku kayak nonton ftv di salah satu stasiun tv swasta Indonesia yang siang hari itu... ceritanya asyik banget walaupun aku harus menyita waktu kerjaku... ha ha :D
asyik cerpennya :-)
dari secret admirer yang belum kenal menjadi SA tapi setidaknya sudah kenal.. hehe jadi inget pernah juga saya jadi secret admirer :-D
salam kenal wury... tukeran link yuk :-)
hai kakak :D
kakak dapet tag dari aku loh.. silah kan kunjungi link ini :)
http://leligulali.blogspot.com/2012/03/14-dis-ass-ter.html
happy blogging <3
Sihheyy asikkk.. ane udah baca ceritanya dari awal sampai habis. seperti kisah dalam novel yaa.. enak dibaca. ane jadi terbayang adegan dan suasana nya.. hehe., menjadi waiters yang naksir ama pelanggannya.. eh suatu hari tiba2 kalian pergi berdua.. hahaha
kan Davin tanya tempat makanan enak seain disini.. nah hayoo sama aja dengan mengalihkan seorang pelanggan ke tempat lain. heheh :p
wahh,pengangum rahasia nih...hehee
ini fiksi ato nyata ya mbak?ceritanya menarik ^^
Dulu : Dekat namun tidak mengenalnya dan aku diam-diam mengagumi. Sekarang : Dekat namun aku sudah mengenalnya, bahkan tahu cerita-ceritanya, dan aku masih diam-diam mengaguminya. Sekali lagi, MENJADI TEMANNYA SAJA CUKUP.
hem...hem...
cerpennya,,, so sweet
kunjungan siang wur. . . . :)
keren wury!
ise ceritanya sih bisa dibilang mainstream, tapi sumpah cara membawakan ceritanya keren banget!
sepertinya sudah berpengalaman banget menulis cerita fiksi!
hebat! :)
Cieee...cieee....
Ini kunjungan pertamaku, salam kenal yah :)
Wah mantap tulisannya, ceritanya mengalir dan seakan ikut di dalamnya :)oya, ini nyata atau fiksi?
ne cerpen atau pengalaman??hehe
kosong adalah isi. . . :P
@-ka Iya nih fiksi aja kok. Haha Davin itu hasil lamunan, tapi kalau pengin ketemu Davin di dunia nyata silakan, huehuehue... terima kasih sudah berkunjung :)
@Susu Segar Hah? Keren? Ngaco deh, huehehe, makasih yaaa mas Tabah. Heem... dibukukan? Dipertimbangkan #walah gayane aku ki
@Zainudin Iya, salam kenal juga. Selamat berkunjung :)
@eksak Wah, makasih, ya. Berarti berhasil dong aku menarikmu ke TKP-nya langsung hehe
@Mami Zidane Setuju Mi, kalo temenan kan berantem bisa baekan lagi. Kalo pacaran? Berantem ya langsung jadi musuh hihihi
@Teguh Budi Iya, berpikir, temenan itu jauh lebih baik :)
@Andy Bener banget, kurang percaya diri. Status sosial sangat berpengaruh di sini :)
@...Uzay Gingsull... Itu sih sama aja, Zay hehe...
Haha... ibaratnya terlalu ekstrim, ya
Oh iya, udah tak benerin spasinya, tapi di cerpen berikutnya :D, thanks..., Zay!
@antaresa Kenapa, ya? tar jadi kayak FTV dong hehehe... Makasih kunjungan baliknya, ya :)
@R10 Menikah? Pacaran aja nggak hehe
@Mhar Zhun Terima kasih :)
@The 7Bloggers Oke, meluncur sekarang :)
@dwi save arema Iya, kan aku juga wanita, jadi otomatis gitu hehe
@cik awi Sudah ada postingan selanjutnya :)
@cerita anak kost Yaaah, kalo itu sih doanya orang maksa haha, dosa lho maksa Tuhan haghag :D
@Stupid monkey Si sit cuiit jugaaa :D
@Nurmayanti Zain Ya, pengennya gitu, tapi gimana lagii, kurang percaya diri sih hehe
@Tiesa Iya, kata orang temenan itu lebih awet lho hubungannya dan lebih menyenangkan :)
@choirul Makasih mas Choirul, bersedia menyisihkan waktu kerjanya hanya untuk membaca cerita geje ini hahaha
@Ne Margane Wow, gimana rasanya? Aku malah belum pernah lho, ini hasil lamunan aja.
Tukeran link? Ayok, tapiii hihihi aku belum tahu caranya, masih bodoh di dunia blog ini.
@leligulali hay Lel, waduh makasih ya udah ngasih PR. Iya2 tar aku kerjain, tapi agak lama nggak pa2 ya hehehe...
@Asalasah Kan ceritanya itu Davin pengen ngajak makan si Indy, berdua gitu, hehe. Kan ngga asik kalo makan di tempat kerjanya Indy :)
@Atma Muthmainna Itu fiksi a.k.a hasil lamunan haghag
@Annur EL- Kareem Huiii... beneran so sweetkah? Makasih :D
@Tabah Siang. Aku lama banget nggak bergaul di sini
@hanjeyputra Yay, bisa aja. Bukannya mas hanjey. mas hanjey kalo nulis juga kereeen :). Makasih mas
@f4dLy :) Selamat di blog kecil ini, sobat :)
@Seagate Ini fiksi mas, terima kasih ya :)
@YouRha Cerpen asli sli sli Youraaa :)
@Tabah Isi adalah kosong? :D
Langsung nyangkut lagu di otakku, untuk ending cerpen tersebut...
Kita berteman saja...
Teman Tapi mesra.....
#eea... :D wkwkw
@srulz Eh itu lagunya siapa sih? Maia sama Mulan ya? Nggak suka Mulan haghag...
Posting Komentar