Sefty menangis kala orang lain tertawa. Ia menekur jalan setapak di samping sekolah. Langkahnya timpang, sekilas terlihat seperti menahan luka di kakinya. Namun, jika diperhatikan secara seksama, sama sekali tidak ada segorespun luka di kakinya. Tas serempangnya terseret-seret mengikuti langkahnya. Ada apa dengannya? Kemana larinya wajah yang biasanya penuh senyum itu? Seakan kata ‘sedih’ tidak pernah tertulis di kamusnya selama ini. Sungguh di luar dugaan. Tangannya menggenggam kertas kusut akibat dicengkeramnya kuat-kuat sedari tadi.
Pengumuman yang menyatakan bahwa ia LULUS itu, harusnya membuatnya melompat gembira. Melompat setinggi-tingginya. Bukankah melompat tinggi di hari kelulusan adalah harapan kecilnya selama beberapa bulan terakhir ini. Tapi ada apa dengannya, alih-alih melompat tinggi dan berteriak kencang, mukanya malah bermuram durja penuh seluruh. Kontras sekali dengan tingkah teman-temannya yang meluapkan kegembiraan ketika merayakan hari kelulusan yang hanya bisa dirayakan setiap tiga tahun sekali. Oh, kecuali SD maksudnya. Pasti ada sesuatu yang buruk. Buruk sekali sampai-sampai hatinya berguncang. Menangis. Satu-dua air mata tumpah, tapi secepat mungkin ia seka air mata itu dengan punggung jari telunjuknya. Ia membasahi bibir mungilnya yang tiba-tiba mengering dan menarik napas panjang.
***
Wohoo! Sefty berjoget mengikuti hentakan musik di kamarnya. Lagu lama Ku Bahagia-nya Melly Goeslow memenuhi setiap sudut kamar kecilnya yang bernuansa ungu. Ia melompat ke atas kasur empuk, membuatnya terpantul-pantul sejenak. Tidak perlu memeras otak untuk menebak apa yang tengah ia rasakan. Lompatannya, pekikan-pekikan kecilnya, wajah cerahnya yang sesekali ia bekap gemas dengan bantal bergambar barbie, sudah mewakili secara keseluruhan suasana hatinya saat ini.
Oh... jadi begini rasanya jatuh cinta? Langit mendung pun terlihat cerah. Benar-benar tidak waras. Euh... tapi sepertinya ini bukan kebiasaannya? Memang. Ini baru pertama kali menyerang hidupnya. Ternyata efek yang timbul ketika sedang jatuh cinta untuk yang pertama kali sanggup mengalahkan segalanya.
Dani. Apakah nama itu yang membuatnya tergila-gila? Ya. Apakah nama itu juga yang membuatnya bertingkah tidak normal? Ya. Apa sih yang laki-laki bernama Dani itu lakukan hingga membuatnya begitu? Apa ia seorang laki-laki tampan? Tidak. Apa ia romantis mengalahkan para pria Italia? Hohoho... bukankah pria Italia itu terkenal romantis! Tidak. Lantas?
Dani pendek, kalau berdiri sejajar dengan Sefty, Dani hanya sebatas telinganya saja. Dani juga tidak setampan Rio, cowok kelas XII IPA-2 itu, cowok yang tetap stay cool ketika para wanita mengejarnya. Dani juga tidak sekaya Rendi, cowok kelas XII IPA-1, yang kesekolahnya saja mengendarai Jaguar. Dani hanya baik. Baik sekali, bahkan ia polos. Sepolos kertas HVS. Tidak pernah sekalipun menempelkan pantatnya di kursi ruang bimbingan. Namanya bahkan tidak pernah menghiasi buku pelanggaran. Sekali lagi, ia hanya sosok yang baik sekali.
“Sef, ini bukan buku yang kamu cari?” Dani menyodorkan buku Bahasa Jawa, bertuliskan Kawruh Basa Jawa.
Sefty menoleh dan senyumnya mengembang. Ia mengusap peluh yang menghiasi keningnya. Kentara sekali matanya memancarkan terima kasih dan kelegaan. Terima kasih karena Dani menemukan buku itu. Dan lega, karena ia ‘terpaksa’ menyudahi satu jam terakhirnya mengubek seluruh rak perpustakaan.
“Makasih, ya, Dan! Aku nggak tahu, kalau kamu nggak nemuin buku ini mungkin tahun depan aku baru keluar dari ruang sialan ini,” Sefty mengedarkan pandangan ke seluruh ruang perpustakaan. Ia menghembuskan napas kuat-kuat. “Terima kasih!” ucapnya sekali lagi.
Dani tersenyum, “Kalau tahun depan baru keluar, rela nih nggak ikut ujian?”
Sefty mengerutkan kening samar, sedetik kemudian ngakak. “Nggak mauuuu.” Ia menggeleng-geleng. Lucu sekali.
Pak Amin, guru Bahasa Jawa, memberinya detensi menulis cerita menggunakan huruf Jawa karena tiga kali Sefty mengabaikan PR-nya. Bukan bermaksud mengabaikan sebenarnya, ia hanya tidak mengerti apa itu Bahasa Jawa. Ia baru saja resmi menjadi siswi SMU 3 Jogja satu bulan yang lalu. Di Bandung, mana ada pelajaran Bahasa Jawa. Gara-gara Papa dipindah tugaskan ke Jogja, jadi terpaksa ia harus pindah ketika kenaikan kelas XII. Mulutnya sampai berbusa menjelaskan kepada Pak Amin bahwa Bahasa Jawa itu bagai bahasa alien. Ia tidak mengerti sama sekali dengan bahasa yang penuh dengan akhiran “O”-nya. Iyo dan ora adalah dua kata yang ia pahami. Lainnya? Gigit jari deh. Bukan karena ia tidak mau bertanya dengan temannya, tapi ketika temannya mulai menjelaskan, ia langsung menguap 10 kali dan langsung berakhir dengan menggosip.
***
Sejak ‘insiden’ menyenangkan tempo hari, Sefty langsung menetapkan Dani sebagai dewa penyelamatnya. Tidak peduli dengan kondisi fisik Dani yang jauh dari kata sempurna. Toh, bukan kesempurnaan fisik yang membuat hatinya lumer, tapi perhatiannya. Ia merasa Dani adalah he’s the one (euum... bener nggak sih istilahnya?), whatever-lah... Yang pasti ia sudah menambatkan cantolan hatinya ke cowok pendek itu. Ugh, kalau sampai ada yang meledek, rasa-rasanya ia rela maju untuk menjitak kepala orang itu.
“Sef, kantin yuk!” ajak Dani ketika bel istirahat menjerit. Dan jelas saja Sefty langsung mengangguk kuat-kuat. Seperti gadis murahan tidak, sih? Heem... sepertinya tidak.
“Gimana hukuman dari Pak Amin?” Dani benar-benar perhatian. Langsung mendapat Panasonic Gobel Awards untuk kategori aktor paling perhatian.
Sefty memainkan ujung rambut ikal panjangnya dan mengangkat bahu acuh tak acuh, “Rasanya kayak dipaksa makan udang.”
“Hem? Dipaksa makan udang? Berarti berhasil dong?” Dani menoleh ke arahnya.
Kening Sefty berkerut samar. “Boro-boro berhasil, nulis satu kata aja butuh ratusan tahun. Coba hitung deh kalau aku harus nulis 200 kata!”
“Tapi kok perumpamaannya makan udang? Bukannya udang itu makanan paling enak sedunia?”
Sefty terkikik geli, menepuk keningnya sendiri, “Hihihi... aku nggak suka udaaaaaang! Ngelihat aja udah mual-mual.”
Dani mendorong bahu Sefty dengan sikap bercanda. Jadi deh perjalanan ke kantin adalah perjalanan paling indah yang dirasakan oleh Sefty. Huft... melelahkan karena jantungnya bekerja 3 kali lipat daripada biasanya.
Malamnya, Sefty tidak tahu harus ngapain. Malas sekali rasanya mengerjakan PR. Papa dan Mama juga asyik sendiri dengan kegiatannya masing-masing. Papa sibuk dengan buku bacaan yang tebalnya ampun-ampunan dan Mama sibuk menonton sinetron. Sekilas terlintas di kepalanya untuk gabung dengan Mama, tapi... mending disuruh makan udang dua biji deh daripada harus menyiksa mata dengan tontonan itu. Ia lebih tertarik Spongebob.
Apa ia harus merecoki Mas Irwan di kamarnya? Ugh, tapi apa enaknya, paling hanya berakhir dengan perang bantal seperti biasa. Punya kakak laki-laki yang sangat jahil memang kadang menyenangkan, tapi... ya begitulah sering bikin nangis darah akibat aksi menjahilinya yang terlampau keterlaluan. Akhirnya ia hanya berdiam diri di kamar. Sedetik kemudian ia sudah jauh berlayar dengan lamunannya. Dan mudah sekali ditebak, objek lamunannya pasti cowok berinisial D.
***
“Dani, anterin ke toko buku yuk!” Sefty mulai merajuk ketika matanya menangkap sosok Dani dan mendekatinya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah tingkahnya terlalu berlebihan? Apa ia terlihat seperti gadis yang tidak punya urat malu? Ah... tapi dorongan untuk selalu mendekati Dani selalu menang. Jadi pikiran-pikiran negatif yang selalu merecokinya ia abaikan. Toh, selama ini Dani tidak pernah menolak ajakannya. Dani selalu iya-iya saja, dengan senang hati malah.
Di toko buku, Dani juga tidak pernah berbisik-bisik ataupun menyenggol-nyenggol lengannya sekedar untuk mengajaknya pulang. Sepertinya Dani enjoy saja menemaninya, walaupun di toko buku Dani hanya berperan menjadi ‘ekor’. Ke pojok ikut, ke tengah ikut, ke kasir ikut, tapi untung saja Dani tidak pernah memaksa ikut ketika ke toilet. Pokoknya Dani seperti bayi yang dikasih dot atau kalau dibawa ke Bahasa Indonesia, seperti air di atas daun talas.
Ketika di ajak makan, Dani juga sangat menyenangkan. Sungguh bangga ketika mengetahui bahwa Dani itu bukan tipe cowok pemilih makanan. Angkringan oke, warteg ayo, bakso ngangguk-ngangguk saja, bahkan jajan gorengan Dani setuju. Kadang kalau isengnya sedang kumat, ia mengajak Dani makan di restoran mahal. Tapi euum... itu tadi, hanya sekedar iseng, kalau Dani sudah mengangguk setuju, ia langsung mengubah rute, alih-alih ke resto mahal, motor mereka malah terlihat parkir di angkringan langganan. Dan Dani adalah bos yang selalu siap sedia mengeluarkan uang dari dompetnya, bahkan ia tidak akan pernah rela ketika Sefty berinisiatif mentraktirnya. Wajahnya langsung berubah sangar ketika Sefty mengeluarkan dompet dan mendadak langsung cerah seperti cat kamarnya ketika Sefty memasukkan dompetnya kembali. Sungguh cowok idaman. Mungkin itu cara Dani untuk menutupi ketidaktampanannya. Hihihi... jahat tidak, sih?
***
Berbulan-bulan lamanya ia merasa Dani sudah menjadi bagian hidupnya. Bahkan ia sudah mengira, ia akan tersesat jika kemana-mana tanpa Dani. Kalau orang lain yang belum mengenal, mungkin mereka berdua sudah dianggap sebagai sepasang kekasih. Tapi bukankah itu yang diinginkan Sefty. Tapi bagaimana dengan Dani? Sepertinya cowok itu tidak tergerak hatinya. Seharusnya Dani bisa merasakan benih-benih yang ditanamkan oleh Sefty dan setidaknya Dani mengambil satu langkah maju. Menembak. Bukankah itu yang selalu buku-buku cinta ramalkan? Tapi mengapa Dani bersikap biasa? Kadang Sefty menebak, jangan-jangan hati Dani terbuat dari tanah liat. Ugh, menyebalkan tidak sih?
Malam Minggu, Dani sering apel ke rumah Sefty. Walaupun hanya sekedar untuk mengembalikan buku catatan Bahasa Indonesia saja, itu sudah termasuk apel, kan?
Seperti malam ini, Sefty sedang asyik-asyiknya menghitung ruas jari tangannya sambil berbisik “datang nggak datang nggak datang nggak dat...”
“SEF, ADA TEMENMU DATANG NIH!” teriakan Mama tidak enak sekali, seperti memakai TOA. Padahal ia tahu pasti, Mama hanya berdiri setengah meter dari pintu kamarnya.
“IYA, MAAA...” teriakannya disertai senyum. Pasti Dani, pikirnya.
Ketika sampai di teras... tuh, kan, benar. Dilihatnya Dani sedang duduk santai di kursi teras, satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain. Tangannya sibuk memencet-mencet keypad hape.
“Ehm.” Sefty berdeham singkat. Dani mendongak.
“Jalan yuk,” ajak Dani tanpa babibu.
Sefty pura-pura berpikir padahal sama sekali ia tidak berpikir. Ia hanya mengulur-ulur waktu saja sambil membayangkan betapa menyenangkannya nanti ketika mereka jalan berdua.
“Aku ngomong sama siapa sih?” celetuk Dani. Tangannya menepuk lembut pipi Sefty.
Mata Sefty membesar. “Heh... iya iya. Kemana?”
“Terserah.”
“Beteng yuk, biasanya di sana ada atraksi sepeda!” usul Sefty yang langsung di-iya-kan oleh Dani.
***
Dorongan itu semakin kuat. Padahal saat ini adalah saat terberat dalam dunia sekolah. U J I A N. Apalagi sekarang baru ujian pertama. Alih-alih tangannya sibuk mencoret-coret dan otaknya sibuk mencari rumus Kimia yang cocok, Sefty malah menggunakan otaknya untuk merancang misi tembakan yang akan ia lancarkan. Satu tangannya digunakan untuk mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan pensil.
Tunggu! Penembakan? Yap. Sejak tiga hari yang lalu, dorongan kuat itu terus saja merongrong hatinya. Dorongan untuk menyatakan cinta. Oh ya ampun, bagaimana bisa? Apa ia sudah tercemar virus gila? Gila karena akan menembak laki-laki dan lebih-lebih ini untuk yang pertama kali. Setelah ia membaca sebuah majalah remaja beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa cewek boleh first move duluan, ia semakin yakin bahwa ia akan melakukannya.
Ujian selesai pukul 12 siang. Terik matahari tepat berada di atas ubun-ubun membuat rancangan kata-kata penembakannya luntur seketika. Ditambah ia gugup setengah mati. Kata-kata “tidak tahu malu” terus saja menghantuinya. Tapi apa pedulinya, toh cintanya mampu mengalahkan segalanya.
“Dan, pulang bareng yuk!” ajak Sefty ketika mereka bertemu di tempat parkir.
Seperti biasa, Dani langsung mengangguk cepat.
“Dan, mampir WS yuk! Aku yang traktir!”
Mereka berdua memang jarang sekali makan di WS (Waroeng Steak), tapi untuk kali ini tidak ada salahnya, kan?
“Emang ada acara apa sih?” tanya Dani heran.
Kenapa sih Dani bertanya seperti itu. Apa ia harus bilang, “Aku mau nembak kamu di sana!” Oh... cari mati saja. Tapi ia harus menjawab apa?
“O... aku...” Sefty menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menekan kepala bagian belakang, setengah berharap otak kecilnya menemukan jawaban, “... euum... kamu, kan, ultah?” Konyol kuadrat.
“Aku? Ultah? Nggak kok!” Jelas saja Dani seperti orang tersesat di dalam hutan. Bingung dan heran. Oh oke, ia ngaku. Itu jawaban orang idiot. Memangnya apa sih yang ia pikirkan? Berpikir bahwa Dani lupa dengan tanggal lahirnya sendiri?
“Maksudku bukan kamu...,” Sefty gelagapan seperti orang yang tenggelam di laut ketika sedang asyik berenang. “Maksudku yang ultah aku atau... Dita. Ya, Dita yang ultah.” Mengapa sih, berbohong saja susah. Padahal bisa, kan, ia menjawab bahwa ia hanya ingin berbagi rejeki, atau tidak ada acara apa-apa. Atau yang paling sederhana, ia lapar. Beres, kan? Tapi mengapa begitu sulit. Sefty justru mempersulit dirinya sendiri dan sukses membuat Dani curiga. Dani menatap Sefty dengan mata jahatnya. Wow, mata jahat? Bukan. Itu sih mata teduh. Sungguh. Walaupun Dani tidak tampan, tapi cowok itu mempunyai tatapan teduh dan kalau Dani menatapnya seperti itu, ia merasa sedang berada di bawah pohon beringin ketika cuaca sedang panas. Teduh.
WS lumayan ramai, tapi mereka berhasil menggapai bangku pojok terlebih dahulu ketika ada pasangan lain yang mengincar bangku itu juga. Mereka harus merayakan kemenangan kecil itu.
Sefty pura-pura sibuk memilih menu, padahal isi kepalanya hanya berputar-putar saja merangkai kata. Sesekali ia mendongak dari menu, melihat Dani sekilas, kemudian kembali menenggelamkan diri ke dalam menu. Tidak seperti biasanya ia bertingkah seperti itu dan sikapnya yang di luar kebiasaan itu sukses membuat Dani meluncurkan tatapan-tatapan curiga.
“Kamu kenapa sih, Sef?” Ini pertanyaan yang... keseratus kali interval waktu dari parkir sekolah sampai WS. Sefty hanya sanggup menggeleng pelan. Kemudian ia memanggil mas pelayan, menyerahkan pesanan.
Cappuccino float dan lemon tea, siap diseruput. Tapi sepertinya Sefty tidak berminat menyeruput lemon tea-nya, walaupun kerongkongannya kering kerontang. Ia hanya tidak sanggup bergerak. Alih-alih menaikkan tangan, menggerakkan satu jari saja susah sekali. Ia mendadak lumpuh total. Mungkin sepulang dari WS, ia akan lari ke tukang pijat profesional.
“Sef!” Dani masih saja ‘saf-sef-saf-sef’ dari tadi. Walaupun Sefty hanya menggeleng, Dani sepertinya tidak akan berhenti memanggil namanya kalau belum ada jawaban bermutu keluar dari mulut Sefty. Lama-lama yang datang jelangkung, hiiii...
Berhasil. Sefty mampu menggerakkan tangannya. Ia membasahi kerongkongannya yang mengalami kemarau panjang dengan seteguk lemon tea. Saatnya bicara. Sepertinya otaknya mulai siap.
“Dan, menurut kamu, kita ini apa sih?” Sefty mengawali pembicaraan dengan kalimat membingungkan. Tanpa sadar ia menggigit-gigit kecil bibir bawahnya. Menunggu jawaban dari mulut Dani serasa menunggu kocokan arisan.
Dani mengerutkan alis, jelas sekali ia bingung. “Kita apa? Maksudmu sejenis manusia atau makhluk lain, gitu?” Tuh, kan, benar-benar polos.
Sefty menghembuskan napas kuat-kuat. Kecewa dengan jawaban Dani. Benar-benar tidak lucu. Biasanya, jawaban Dani tersebut bisa membuatnya terkekeh, tapi tidak untuk kali ini. Itu sebuah jawaban konyol yang menyakitkan.
Sirloin dan blackpepper datang di tengah atmosfer penuh canggung.
“Makasih, Mas!” gumam Sefty ketika blackpeper-nya ditaruh di depannya.
“Maksud kamu apa sih, Sef?” Dani bertanya sambil tangannya sibuk menaburkan bubuk lada ke sirloin-nya. “Yang jelas dong?”
Sefty menggaruk hidungnya. Kemudian menekan-nekan pelipisnya. Ia menyesal tidak membaca buku “Tips-tips Menembak Pria” sampai kelar.
“Umm... gini. Menurutmu, cowok yang dateng ke rumah cewek tiap malam Minggu itu ada artinya nggak?” Blackpepper di depannya memang menggoda, tapi menunggu jawaban Dani ternyata jauh lebih menggoda dan... menegangkan.
“Ada nggak ya?” sahut Dani sambil mengunyah.
Sefty menahan napas. Kedua tangannya saling meremas di pangkuannya. Matanya menatap dalam mata Dani.
“Nggak ada!” Dani menggeleng.
Mengapa oh mengapa? Kepalanya terasa dihantam godam raksasa. Jawaban yang terlampau singkat itu justru berpotensi meluluh lantakkan hatinya. Mengapa ia merasa sakit hati? Tapi bukan itu yang ia inginkan. Sejak tiga hari yang lalu ia sudah menunggu saat-saat ini. Bahkan belajar di depan cermin sudah ia praktekkan -Belajar dengan refleksinya-. Masa iya sih, akan dibuangnya persiapannya itu. Kan, sayang sekali.
“Tapi...,” Sefty mencubit-cubit pahanya sendiri. “Aku... s... su... suka khammuu!” Tengggorakannya tercekat, seakan ada garpu tersangkut di sana.
Tunggu Kelanjutannya, ya, temans... huihihi :)
31 comments
Sosok Dany di cerita ini mirip temen waktu SMA deh.. dan ceritanya remaja banget deh, suka!
Oalaaaaah ngegantung banget..
ayo dilanjutin..
Oughh, so sweet! I luv u, darling! #nyubitPahaOrang! Awww...
wah sayang. harus menunggu kelanjutannya... salam kenal.
wah ceritanya mirip aku, aku juga dri jakarta ke jwa. paling tidak bisa bahasa jawa. apalagi klo nulis sesuatu. payah,, tapi klo kisah cintanya beda ma aku. terpaksa dah menanti kelanjutannya.
Huft... tahu g sih sebenernya Dani itu juga suka lho, cuma dia itu jaim ha ha ha
wuiiiihh. .. emang jago ya wur. .. .
peran sefty sungguh ngena banget. . .
wah..ngegantung ceritanya -__- ayo buruan lanjutannya mbak...
wuah, bikin penasaran aja nih wury, ditunggu kelanjutan nya ya
senyum itu indah..
ahh gantuuung >,<
wew .... dasar .... bikin orang penasaran aja, lanjutin gak !!
tapi titip pesen ya buat sefti, kl masih malu, belajar sm monkey aja, dia bisa tuh, hhehey :D
Yuhuu. . .met mlmm. . Sempurna. .di jadi'in eptipi aja ya. .:-)
Wadudududuuuh... mo ngomong gituan aja ko susah amat.. sampai segitunya!!!
Hmm.. apalagi Dani tuh... jadi cowok kok Polos amat siy!!!
Ayas sampek Gregetan jadinya!!!
Ck.. Ck... Ck...
Yach namanya juga Cinta Pertama... adaaa aja hal2 yang lucu... bikin gemes.. dan sebagainya...
Dan itulah yang membuatnya Indah dan tak pernah terlupakan!!!
^_^
lagi-lagi cerpen yang sangat menarik untuk dibaca! :) selamat! :)
keep writing ya. :)
@Uzay ^,^ Oya? Kebetulan banget nih, kalo baca ini bayangin aja temenmu itu haghag...
Udah ada lanjutannyaaa :)
@eksak Sembarangan cubit paha orang, paha sendiri dong yang dicubit, hehehe
@Peduli AlamKu Udah ada kok lanjutannya :)
@cerita anak kost Kamu darimana? Emang susah ya kalo harus belajar bahasa lain lagi, tapi itu penting
Udah dilanjut :)
@Mas Huda Mas Huda sok tahu deeeh hahahaha
Baca lanjutannya mas, cepet :)
Dani tuh bukan jaim :D
@Tabah Wew, ngena apa tuh? :D
@Aiinizza anggriani Sudah dilanjut sayang :)
@Mami Zidane Oke, Mi :)
@cik awi Emang indah, tapi... hayooo ketahuan nggak baca nih :D
@Tiesa Udah ada Tis...
@Stupid monkey Udah dilanjuuut...
Oke deeeh, privat per jamnya berapa? :D
@Noer rachman twiboyz Doa ah biar ada produser film baca blogku :D #mimpi tingkat tinggi banget nggak sih?
@bagi bagio Ya begitulah, kalo nggak pake malu nggak berkesan dan nggak ada cerita ke anak cucu dong dan kesannya muka tembok banget hehehe
@hanjeyputra Makasih mas hanjey :D
@WuryMurah kok, cuma 1000 dolar, hehehehe :D
@Stupid monkey Huwaaaa... 1000 Dolar??? Jual tanah dulu deh kalo gitu :D
Izin baca artikelnya :)
Posting Komentar