Ada sesuatu di gorden, dan aku berharap benda itu hantu. Entahlah, seharian ini aku kacau, bahkan aku selalu ingin melihat sesuatu yang tidak akan pernah ingin orang lain lihat. Mungkinkah ini suatu kelainan ataukah memang hanya aku saja yang aneh. Aku melempar paksa memoriku ke dua hari lalu. Keningku berkerut samar karena aku menemukan alasan mengapa aku menginginkan hal itu. Oh, oke! Dan berharap melihat hantu, aku berharap kesurupan dan teman-teman lain akan mengasihani diriku. Apa ini ide cerdas? Atau ide gila?
Terkadang kita mendapat serangan telak ketika kita tidak mengharapkannya walaupun kita sadar serangan itu akan datang cepat atau lambat. Dia menyerangku dengan sadis, di depan teman-teman. Masih mending kalau hanya teman sekelas. Ini? Satu sekolahan. Dan aku berharap kilat membumihanguskanku saat itu juga dan aku tidak akan perlu mengalami kejadian paling memalukan ini. Rasa kesal yang aku rasakan bahkan melebihi apapun juga, sampai-sampai aku tidak tahu harus berbuat apa. Ayo, Nabil, kamu harus semangat!
Risa menang telak. Aku mengakuinya, walaupun yah... sulit. Mau marah bagaimana, toh aku memang salah. Keinginanku untuk memukulinya memakai benda apapun sempat merecokiku seharian ini. Tapi pada detik-detik terakhir ini aku merasa tidak perlulah memakai kekerasan, toh hanya akan menambah nilai buruk teman-teman terhadapku.
Setiap pagi ketika aku mulai melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah, aku merasakan atmosfer yang berbeda. Puluhan pasang mata tajam menusukku. Aku hanya bisa tertunduk malu. Umpatan-umpatan paling buruk sedunia menyambutku. Belum cukup sampai di situ, di kelaspun aku merasa hanya belajar sendiri. Kehilangan teman dalam sekejap cukup sukses membuatku ingin berteriak histeris detik itu juga. Tapi aku tahan habis keinginan itu.
***
“Dasar muka tembok!” seru Risa berjalan di depanku. Walaupun matanya tidak tertuju ke arahku, tapi aku yakin sekali umpatan itu mengarah kepadaku.
Aku diam. Toh, memangnya aku harus berbuat apa? Meraih rambut kemilaunya dan menjambaknya dengan sadis?
“Kalau aku jadi DIA, aku nggak bakalan mau manampakkan batang hidungku di sekolah lagi,” lagi-lagi Risa menyemburkan kalimat itu. Dan mendengar ia menekankan intonasinya ketika mengucap ‘dia’, aku merasa tertohok. Itu aku? Sekali lagi aku merasakan sindiran itu.
Aku menoleh sekilas dari tempat dudukku –paling depan, paling pojok, sendirian-. Kerumunan itu jelas sekali membuatku merasa ingin dilempar kemana saja. Mereka menjauhiku, bahkan Bobi pun turut serta bersama mereka. Sakit sekali melihatnya. Kami bersitatap, jantungku seperti diremas-remas oleh nyeri ketika melihat mata teduhnya berganti menjadi mata yang menyiratkan kebencian mendalam.
“Aku nggak nyangka selama ini kita temenan sama PENCURI!” seruan itu membuatku terhenyak. Bahkan mulutku sampai terbuka mendengar kalimat itu ketika sadar bahwa rentetan kalimat itu meluncur dari mulut Bobi.
Apa begitu bencinya Bobi denganku? Kalau kenyataannya memang seperti itu, aku rela dilempar ke planet Mars detik itu juga. Memulai hidup baru di sana dan setengah berharap Bobi menyesal dan mulai mencariku.
Di tengah umpatan-umpatan mereka yang berhasil membuatku down, pikiranku melayang ke kamar Ibu. Jelas sekali, Ibu tergolek lemah, batuk-batuk kecil memenuhi ruangan sempit itu. Jaket kumel membungkus tubuh kurusnya dan selimut apek menghangatkannya. Tenggoranku tercekat. Aku menarik napas kuat-kuat membiarkan paru-paruku terisi oksigen. Hal terakhir yang aku sadari, aku sudah berlari kencang menuju gerbang utama ketika bel tanda masuk menjerit. Tak peduli tatapan ngeri dari orang-orang di sekitar. Air mataku tumpah dibarengi dengan isakanku yang makin menjadi. Orang yang melihatku pasti akan mengira aku patah hati. Dan... ya, memang aku patah hati, karena Bobi mencemoohku, karena semua teman menjauhiku, dan karena teringat Ibu yang terbaring sendirian di rumah hanya ditemani segelas air putih. Aku berlari sekuat yang aku bisa, perutku yang melakukan protes karena memang dari kemarin belum kemasukan secuilpun makanan, tidak aku pedulikan. Yang aku pedulikan hanya Ibu.
***
Aku mengetuk pelan pintu kamar Ibu. Tidak ada jawaban. Aku mendongak demi melihat jam dinding di ruang tengah. 07.30 pagi. Seharusnya sekarang aku baru mendengar penjelasan Bu Hastin mengenai laju reaksi di kelas XI IPA-4. Aku tidak peduli jika nanti Bu Hastin marah karena aksi membolosku.
Perlahan gagang pintu kamar Ibu aku putar. Perlahan. Derit pintu terdengar samar. Aku melongok ke dalam dan hidungku panas ketika melihat Ibu merintih kesakitan. Kulangkahkan kaki perlahan, meraih pinggiran tempat tidur, dan mengelus punggung Ibu perlahan. Tidak ada reaksi, tapi aku merasakan tubuhnya yang dingin... hangat? Entahlah.
“Ibu,” desisku.
Perlahan tubuh Ibu bergerak dan aku bisa merasakan begitu susah payahnya Ibu mencoba membalikkan badan ke arahku.
“Tetap saja begitu, Bu. Nggak apa-apa kalau Ibu tidak kuat,” gumamku pelan. Tapi toh Ibu mengabaikan perkataanku. Aku membantu Ibu dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah Ibu. Sinar mentari menerobos masuk melalui celah gorden usang, membelai lembut wajah Ibu.
“Kok kamu nggak sekolah, Bil?” tanya Ibu. Suaranya parau.
Aku menggeleng pelan. Ibu tidak tahu masalah yang menimpaku. Aku sudah tidak mempunyai teman di sekolah dan hal itu membuatku berpikir untuk berhenti sekolah dan mulai mencari pekerjaan saja. Tapi kalau aku mengutarakan keinginanku itu kepada Ibu, aku bisa menebaknya dengan gampang, Ibu pasti tidak mengijinkan. Bukan masalah uang bulanan sekolah yang menjadi beban, toh aku bisa masuk ke sekolah elit itu karena beasiswa. Dan aku benar-benar telah melakukan perbuatan yang fatal, bukan... ini sih bukan fatal lagi, tapi saaaangat fatal.
Kalau saja Ayah masih ada, aku tidak perlu melakukan tindakan tidak manusiawi tersebut. Aku bingung setengah mati waktu itu. Himpitan ekonomi membuatku mengabaikan akal sehat. Entah setan apa yang merasukiku waktu itu. Mataku menangkap sebuah benda, ponsel milik Risa, dan aku tidak tahu apa yang aku lakukan ketika tangan gemetarku memungutnya dan menyimpannya di dalam tasku. Aku terdiam ketika melihat Risa heboh mencari ponselnya.
Semalaman aku tidak bisa tidur, bahkan aku sadar aku tidak memejamkan mata barang satu detik pun sepanjang malam. Bayangan-bayangan mengerikan menghantuiku. Kemudian ada sesuatu yang menghantamku, rasa bersalah. Degup jantung 100 kali lebih cepat, keringat dingin muncul, tubuh yang bergetar hebat. Ini pertama kali aku melakukan hal konyol seperti ini. Ayah di alam sana pasti akan kecewa, terlebih Ibu pasti akan sedih dan merasa gagal mendidik anak. Aku tidak boleh melakukan hal ini.
Biaya cuci darah Ibu mahal sekali. Sejak Ibu divonis gagal ginjal tiga bulan lalu, aku merasa seperti dihantam batu telak di kepalaku. Uang simpanan sudah habis untuk cuci darah sebelum-sebelumnya. Minggu ini Ibu belum bisa cuci darah karena memang sama sekali tidak ada uang. Aku tahu racun di tubuh Ibu benar-benar menyiksanya. Aku sudah pontang-panting meminta keringanan, tapi tetap saja rumah sakit itu menolak. Apa yang harus aku lakukan?
Pagi itu, aku datang lebih awal. Menanti kedatangan Risa. Aku menyeretnya ke kamar mandi dan aku mengakuinya. Dengan suara yang bergetar hebat aku memohon maaf kepadanya. Aku tidak melihat sorot benci di matanya dan hal itu cukup membuatku tenang. Aku memohon padanya, jangan sampai ada teman lain yang tahu. Aku berjanji akan membuatkan PR untuknya selama sebulan. Dan ia setuju.
Tapi pagi selanjutnya ia berkhianat. Berteriak seperti orang kesetanan di halaman sekolah, “ATI-ATI LHO SAMA NABIL. PENCURI HAPE TUH DIA!”
Ingin sekali aku marah waktu itu karena Risa berjanji tidak akan membocorkan rahasia itu. Tapi ternyata...
Tapi aku mengakui, aku memang salah. Dan aku hanya bisa terdiam beribu-ribu bahasa ketika cemoohan demi cemoohan menyerangku. Tapi aku bersyukur, aku tidak dikeluarkan di sekolah. Hanya dipanggil di ruang bimbingan dan aku menceritakan kepada Bu Tiwi. Semuanya.
Aku tersentak kaget ketika tangan lemah Ibu menyentuh pipiku. Tak terasa pipiku basah oleh air mata. Daguku bergetar hebat. Kutatap wajah Ibu. Ada banyak sekali kerutan-kerutan di sana. Aku bertanya-tanya, kerutan mana yang mewakili cintanya, kerutan mana yang mewakili kebaikannya, kasih sayangnya. Terakhir, aku hanya sanggup terisak hebat di pelukan Ibu. Maafkan anakmu, Ibu!
***
Pagi itu aku terbangun. Sensasi dingin air wudhu menyentakku. Aku sempat melongok sebentar ke kamar Ibu dan berjalan menuju kamar. Doa aku panjatkan, kesehatan Ibu yang utama. Jangan biarkan Ibu tersiksa lebih dalam lagi. Aku tidak mau Ibu meninggalkanku. Hanya Ibu penyemangat terbesarku.
Mukena masih membungkus tubuhku ketika aku masuk ke kamar Ibu. Suasana aneh menyerangku. Tidak ada dengkuran lembut Ibu. Tidak ada rintihan Ibu. Selangkah demi selangkah aku mendekati Ibu dan aku terhenyak ketika telapak tanganku menyentuh wajah Ibu. Dingin. Aku sentuh sekali lagi untuk memastikan. Semakin dingin dan aku panik. Aku dekatkan jari telunjuk di hidung Ibu. Aku tidak merasakan hembusan napas Ibu. Aku semakin beringas menyambar tangan Ibu dan mencari nadinya.
Aku terpaku dalam diam. Air mataku tidak tumpah karena aku masih belum bisa sepenuhnya mencerna setiap milidetik kejadian pagi buta ini. Gesekan jarum jam terdengar jelas dan menit berikutnya isakanku memenuhi ruangan kecil itu.
Apa doaku terlambat? Ataukah doaku belum sampai ke telinga Tuhan? Aku tergugu. Seluruh tubuhku seakan luruh, hancur berkeping-keping. Kebahagiaan sirna, kesepian menyergap tanpa belas kasihan. Tidak bisakah Ibu dikembalikan? Siapa yang akan mendengar cerita-ceritaku? Siapa yang akan merepotkanku lagi? Aku bahagia ketika Ibu membuatku repot, karena melakukan sesuatu untuk Ibu adalah titik kebahagiaanku.
***
“Nabil,” aku tidak menoleh ketika mendengar panggilan itu. Tepatnya aku tidak sanggup melepaskan tatapanku dari gundukan basah di depanku.
Aku merasakan bahuku direngkuh. Hal itu masih belum bisa menarikku untuk menoleh. Gundukan tanah di depanku seakan mengandung magnet sampai-sampai mataku terus terpaku di sana.
“Kenapa kamu nggak cerita?” Risa berbisik di telingaku. Aku hanya menggeleng pelan. Pelan sekali karena aku sendiri tidak yakin kalau aku menggeleng.
“Aku minta maaf, Bil,” terdengar desahan napas berat. “Aku yang membuatmu kayak gini.”
“Jangan minta maaf, Sa. Percuma karena kamu nggak salah,” akhirnya aku mampu mengeluarkan satu kalimat. Suaraku parau. Kali ini aku menoleh. Menatapnya. Mata Risa merah dan bibirnya seputih wajahnya. Pucat.
Risa menggeleng cepat. Bibirnya bergetar dan ia merengkuh tubuhku. Pelukannya begitu ikhlas, aku bisa merasakannya. Isakannya semakin menjadi. Aku mendongak dan melihat beberapa teman sekelas berdiri di belakang. Bobi menatapku. Mata yang penuh kebencian tempo hari sirna, dan mata teduh itu kembali.
Teman-teman menyalamiku dan memberiku semangat ketika kami berjalan beriringan. Aku menoleh sekali lagi ke belakang, ke rumah terakhir Ibu. Aku berjalan tertatih, rengkuhan tangan Bobi menguatkanku. “Aku minta maaf,” gumamku. Beberapa teman terlihat menggeleng dan tersenyum. Apa itu artinya mereka sudah memaafkanku?
Ibu tidak pernah tahu kesendirianku, tapi aku memang tidak ingin Ibu tahu bahkan Tuhan pun melarang Ibu tahu. Aku bersyukur, teman-temanku kembali, Risa, teman-teman sekelas, dan Bobi yang selama ini memberi warna di hatiku pun kembali. Mereka bersikap seakan tidak pernah terjadi masalah. Bobi menggumamkan maaf karena cemoohannya kemarin. Ia hanya kecewa denganku karena aku tidak pernah jujur tentang masalahku.
Ketika aku menyadari bahwa teman-temanku telah kembali dalam hidupku, aku merasakan seakan terbebas dari belenggu mimpi buruk. Begitu melegakan. Tapi ketika aku menyadari bahwa tidak ada lagi rintihan samar Ibu, kesedihan, kehilangan, kesepian seakan merongrongku. Aku berpikir, inilah jalan Ibu. Dengan begini, Ibu tidak perlu merasakan sakit lebih lama. Aku yakin, sekarang Ibu sedang tersenyum bahagia. Semua mempunyai garis masing-masing. Tidak perlu menuduh Tuhan tidak adil ketika orang yang kita sayang pergi mendahului kita. Sekali lagi, kita mempunyai garis masing-masing.
46 comments
ahh Wury!! pagipagi bikin mataku ngembeng sama tulisannya :(( #lapingus
Yuup, semua mempunyai garis masing2 :)
Trims untuk cerpennya, sangat inspiratif ...
ini fiksi wur? tulisannya mengalir ... oh ya komennya udah saya balas ya..
semangat berkarya..
Wow..... seharusnya saya yang lebih dulu menuju kesini kemudian follow blognya...
Tulisan ini berhasil membuat air mata saya menetes, letaknya ketika Nabil berada di rumah terakhir untuk ibunya... subhanallah... saya jadi pengen nulis cerita ne... belajar maksud saya
oh ya mohon maaf sepertinya ada yang kurang pas pada kalimat ini "Kita bersitatap, jantungku seperti diremas-remas oleh nyeri ketika melihat mata teduhnya berganti menjadi mata yang menyiratkan kebencian mendalam."
mungkin "kita" itu adalah "kami"
he he he
Wah tragis, merelakan ibu demi menghapus mimpi buruknya. Tpi bner juga, dmi mgurangi penderitaan ibu. Ane sampe larut bcanya, ta kira ceritamu. Eh, cerpen ternyata. Kirain kmu.. Syukurlah bukan
okeh, saya save dulu tulisannya, buat ntar malem baca-baca, hehehe :p
waHH Suka nulis ternyata si wury ni.,
gabung d komunitas blog yukk
http://www.facebook.com/groups/bloofers/
cerpen nya bagus juga...
jadi terharu nih baca cerpen nya wury,
kunjungan malam nih, salam kenal wury
blognya bagus :D
checkout blog aku yahhh thankyou sweet<3
buktinya, begitu banyak orang tapi tak satupun sidik jari yang sama
Kerennn!!!
Banyak pelajarannya ne!!
Keep posting ya,,
salam kenal..
Uda difolbek juga!!
OMG... cerpenmu sukses membuatku menitikkan air mata lho.
Kamu pinter banget buat cerpen ya? Ayooo... asah terus dan kembangkan kemampuanmu. :)
Kunjungan malam sobatt
Penjyesalan memang berada di belakang
maka jangan menghakimi orang lain sebelum tahu persis kejadiannya
nice cerpen sobat
cerpennya bagus loh .. tak kira awal awalnya ini tadi soal curhat ternyata ini karangannya kakak :D terus berkarya ya :D
keren loh ceritanya... ceritanya begitu mengalir dan dramatis... setiap kata semi kata rasanya kayak nggak dibuat-buat dan dipaksakan... keren banget ceritanya
kunjungan sob ..
salam sukses selalu ,,:)
Alur ceritanya bisa mengikuti garis masing-masing juga euy...hehe
@Tiesa Heey, udah gede kok ingusan? Buruan lap hehe...
@Yunda Hamasah Terima kasih Mbak Yunda :)
@Adang N M I Iya mas Adang, cuma cerpen kok.
Oke, aku meluncur ke sana, tapi kemarin aku coba pasang kok repoooot banget, ya?
@choirul huda Cowok ternyata bisa menitikkan air mata juga, ya, hanya kerena membaca sebuah cerita fiksi? Hehe...
Heh? Apa iya, Mas. Hanya aku dan Bobi lho, bukankah kalau kami itu jamak, maksudnya keseluruhan gitu. Cont : Kami bangsa Indonesia (Seluruh rakyat), bukan Kita Bangsa Indonesia. Tapi bener sih, aku masih rancu, ngakunya seneng nulis tapi yang kayak gini aja masih bingung, hehe...
Aku buka KBBI dulu hihi... Makasih, ya, Mas, udah mengingatkan :)
@Drieant Iya, ini emang ceritaku, maksudnya karanganku hehe. Memang, MAs, kadang kita harus merelakan seseorang yang kita sayangi walaupun jelas sekali hal itu beraaaat sekali. Sudah kepastian.
Terima kasih, Mas :)
@Stupid monkey Silakan copas, Mas, buat baca-baca. Monggo :)
@Phuji Astuty Lipi Iya, Mbak Pujhi, saya suka menulis. Insya Allah nanti bergabung. Terima kasih infonya :)
@Sang Cerpenis bercerita Terima kasih :)
@Mami Zidane Sip dah, sukses bikin terharu hehe...
salam kenal juga Mimi Zidane :)
@Dana Paramita Makasih :)
Oke, meluncur sekarang...
@Nurmayanti Zain Iya, Mbak. Kebesaran Allah :)
@Hana Ester MAkasih ya udah do folbek... :)
@catatan kecilku Masih terus latihan ini, terima kasih :)
@rizki_ris Halo, Ris. Iya, jangan sampai keegoisan kita mengalahkan akal sehat kita. Cari tahu kebenarannya dulu. Sip... :)
@leligulali Ada yang mengira begitu juga, Dek. Mungkin kata-katanya seperti sebuah curhatan kali, ya?
Sip, sukses buat kamu.
@Cerita Ocha Wew, jangan berlebihan gitu dong, gede kepala nih hehe
Makasih, ya :)
@Djangkies Terima kasih, MAs, jempolnya, udah kayak di fesbuk aja hehe...
Maka, sangatlah penting menyisihkan waktu barang 10 menit untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kadang kita harus berani mengambil langkah ekstrim kalau sedang kepepet, mudah2an cara Nabil di cerita tersebut jangan ditiru. Pilihlah cara yang masih dalam koridor, jangan sampai melenceng.
@outbound malang Selamat datang, Sob! Sukses Selalu ^_^
@Ririe Khayan Terima kasih, Mbak. Tulisan Mbak Ririe juga mengikuti garis, inspiratif...
maaf baru sempat berkunjung.
Cerpennya keren, alur ceritanya mengalir.
setelah dibaca secara seksama dan dapalam tempo yang selambat lambatnya. . . ternyata oh ternyata. . . .
eh malah comentya pada rebutan nangis hehehehhee
keren wur. . . . sukses deh misimu. . .
Aku sutuju apa kata @Djangkies :D. Salam kenal yah. kamupun eksis yah di blogger :D aku baru tau, dan baru mampir. semoga bisa saling silaturahmi yah...^^
aku setuju sama @Djangkies. Makasih yah. salam kenal. izin follow balik. semoga bisa saling silaturahmi^^
@Wury
saya sebenarnya juga kurang begitu paham dengan "kita" dan "kami". Maka dari itu saya sensitif sekali rasanya ketika ada penggunaan "kami" menjadi "kita"
"kita" itu setahu saya digunakan ketika misal saya bicara kemudian dalam pembicaraan saya itu juga mewakili pihak yang saya ajak bicara..
kalau kami itu misal saya dan teman saya, kemudian bicara sama orang, nah "kami" itu misal saya nyebut saya dan teman saya ke orang yang saya ajak bicara
ha ha ha :D jadi panjang gini ya
semoga g bingung deh
@Teguh Budi Terima kasih sudah menyempatkan waktu sebentar berkunjung ke sini :)
@Susu Segar Huaaa... aku jadi terharu biru nih, banyak yang sedih. Kamu nggak ikutan sedih kaaan?? Hehehe...
@Faizal Indra kusuma Makasih ya udah follow balik. Sip sip, silaturahmi itu penting banget dah :)
@choirul Setelah aku cermati lagi dan lagi kayaknya nilai 100 nya buat Mas Choirul deh. Udah aku revisi, makasiiiiih banget, Mas.
Posting Komentar