Baru sekali ini aku menghadiri acara pemakaman.
Suara orang-orang menyerupai dengungan di telingaku. Aku mengedarkan mataku
dari ujung ke ujung, tapi hanya sosok-sosok berbalut pakaian hitam yang
kulihat. Oh... dan pohon kamboja dan langsung saja mataku berkunang-kunang.
Entah mengapa?
Bau khas makam menyeruak hidungku. Wangi mawar dan
kemenyan menjadi satu, membuat kepalaku berdenyut-denyut. Secepat mungkin aku
memijat lembut pelipisku dengan jari-jariku, setengah berharap denyutan yang
menyerangku menguap di udara. Oh... betapa ingin aku cepat-cepat meringkuk di
balik selimut tebalku. Membayangkannya saja terasa nikmat. Tapi nikmat yang aku
rasa tidak dibarengi dengan senyum simpulku, seperti biasa. Kali ini,
entahlah... bukan karena suasana seram makam ini atau gundukan basah di
depanku. Aku hanya merasa takut saja.
“Zay, pulang yuk,” aku menyodoklen gan Uzay dengan
sikuku. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menyodoknya, ia tidak akan bergerak
sedikitpun. Sepertinya gundukan basah dengan taburan bunga di depan kami cukup
hebat mengguncang separuh jiwanya. Separuh? Bukan. Tapi segenap jiwanya. Aku
kasihan sekali melihatnya seperti itu. Maka, aku melingkarkan tanganku ke
lengannya dan mengusapnya lembut.
“Zay, kepastian. Tidak ada yang menginginkan ini
semua terjadi,” hiburku pelan.
“Tapi ini semua salahku, Ry,” gumamnya. “Sumpah
serapahku. Doaku. Aku benci diriku sendiri!” Uzay menggeleng pelan, seolah
mengusir kegundahan dan rasa bersalah yang merobek hatinya. Wajahnya sungguh
kacau.
Awalnya aku tidak terlalu paham mengapa Uzay
menganggap dirinya bersalah atas kematian kakak laki-lakinya itu. Bukankah
selama ini ia selalu membenci dan dibenci. Saling manjatuhkan dan tidak pernah
akur selama hidup bersama. Aku sendiri juga tidak terlalu mengenal Eksak, kakak
Uzay, selama ini. Bukan karena aku tidak pandai bergaul, tapi lebih cenderung
kepada sikap hati-hati saja. Dan juga karena peringatan keras dari Uzay.
“Kalau mau selamat, jangan pernah kenal sama Eksak
keparat itu!” Uzay menyemburkan kalimat itu lengkap dengan cengkeraman keras di
lenganku dan tatapan menusuk mataku. Aku sempat bergidik ngeri ketika itu.
Uzay terduduk di tanah basah. Aku hanya bisa diam,
menunggu kapan Uzay mengabulkan ajakanku untuk pulang saja. Aku hanya tidak
ingin melihatnya terus-terusan merasa bersalah kalau tetap berada di sini.
Pulang itu lebih baik menurutku.