http://www.ministrywatch.com/App_Themes/Gifs/star.gif

Pages

Subscribe Twitter Facebook

Senin, 23 April 2012

Beginikah Jalannya?


Baru sekali ini aku menghadiri acara pemakaman. Suara orang-orang menyerupai dengungan di telingaku. Aku mengedarkan mataku dari ujung ke ujung, tapi hanya sosok-sosok berbalut pakaian hitam yang kulihat. Oh... dan pohon kamboja dan langsung saja mataku berkunang-kunang. Entah mengapa?
Bau khas makam menyeruak hidungku. Wangi mawar dan kemenyan menjadi satu, membuat kepalaku berdenyut-denyut. Secepat mungkin aku memijat lembut pelipisku dengan jari-jariku, setengah berharap denyutan yang menyerangku menguap di udara. Oh... betapa ingin aku cepat-cepat meringkuk di balik selimut tebalku. Membayangkannya saja terasa nikmat. Tapi nikmat yang aku rasa tidak dibarengi dengan senyum simpulku, seperti biasa. Kali ini, entahlah... bukan karena suasana seram makam ini atau gundukan basah di depanku. Aku hanya merasa takut saja.
“Zay, pulang yuk,” aku menyodoklen gan Uzay dengan sikuku. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menyodoknya, ia tidak akan bergerak sedikitpun. Sepertinya gundukan basah dengan taburan bunga di depan kami cukup hebat mengguncang separuh jiwanya. Separuh? Bukan. Tapi segenap jiwanya. Aku kasihan sekali melihatnya seperti itu. Maka, aku melingkarkan tanganku ke lengannya dan mengusapnya lembut.
“Zay, kepastian. Tidak ada yang menginginkan ini semua terjadi,” hiburku pelan.
“Tapi ini semua salahku, Ry,” gumamnya. “Sumpah serapahku. Doaku. Aku benci diriku sendiri!” Uzay menggeleng pelan, seolah mengusir kegundahan dan rasa bersalah yang merobek hatinya. Wajahnya sungguh kacau.
Awalnya aku tidak terlalu paham mengapa Uzay menganggap dirinya bersalah atas kematian kakak laki-lakinya itu. Bukankah selama ini ia selalu membenci dan dibenci. Saling manjatuhkan dan tidak pernah akur selama hidup bersama. Aku sendiri juga tidak terlalu mengenal Eksak, kakak Uzay, selama ini. Bukan karena aku tidak pandai bergaul, tapi lebih cenderung kepada sikap hati-hati saja. Dan juga karena peringatan keras dari Uzay.
“Kalau mau selamat, jangan pernah kenal sama Eksak keparat itu!” Uzay menyemburkan kalimat itu lengkap dengan cengkeraman keras di lenganku dan tatapan menusuk mataku. Aku sempat bergidik ngeri ketika itu.
Uzay terduduk di tanah basah. Aku hanya bisa diam, menunggu kapan Uzay mengabulkan ajakanku untuk pulang saja. Aku hanya tidak ingin melihatnya terus-terusan merasa bersalah kalau tetap berada di sini. Pulang itu lebih baik menurutku.


***

Ketika sore itu aku mendapat berita kecelakaan maut itu merenggut nyawa kakak Uzay, aku langsung melesat cepat ke rumahnya. Aku sudah sampai. Sebenarnya hanya tinggal melangkahkan kakiku saja untuk menyeberang halaman besar itu dan masuk ke dalam rumah mewah itu. Tapi pemandangan yang menyambutku terasa ganjil dan aneh. Biasanya, aku disambut oleh kesunyian yang menyergap. Seolah jika menginjakkan kaki ke halaman besar itu, kebahagiaan seakan lenyap. Aku membayangkan para dementor di film Harry Potter sudah bermigrasi ke rumah Uzay dan menyerap energi kebahagiaanku. Tapi kali ini, aku hanya bisa berdiri lemah dengan satu tangan menggenggam erat besi gerbang. Selama beberapa detik, aku membiarkan mataku menyapu langkah kaki orang-orang yang terlihat sangat sibuk. Memasang tenda, menata kursi, dan saling berteriak menyerukan perintah-perintah. Setelah pulih, aku mulai melangkah.
Aku mendapati Uzay sedang terduduk lesu. Di depan Eksak yang sedang tidur panjang. Aku tidak bisa melihatnya karena memang seluruh tubuh Eksak tertutup kain panjang. Kerabat, sanak saudara berkumpul di ruangan itu. Mata sembab, hidung merah, menandakan mereka sedang berduka sedalam-dalamnya. Kecuali Uzay, aku tidak melihatnya menangis, ia hanya diam, mukanya pucat seolah seluruh warna luntur dari wajahnya.
Aku sendiri merasa sedih, tapi masih dalam batas wajar saja. Bahkan, aku sadar sepenuhnya jika air mataku tidak mampu mengalir walaupun aku paksa sekalipun. Apa aku mempunyai hati sekeras batu? Tidak. Karena... entahlah, aku sendiri masih ragu dengan alasan yang aku pikirkan beberapa detik sebelumnya. Karena Uzay terbebas dari perlakuan buruk kakaknya? Karena Uzay tidak akan lagi mendengar penghinaan, racauan kakaknya terhadapnya, dan yang paling penting, tidak lagi mendapati kakaknya pulang larut malam dengan hangover parahnya. Itulah alasan-alasan yang berhasil aku kumpulkan selama beberapa detik terakhir. Hebat bukan? Tapi yang pasti, ada setitik kelegaan menyelimutiku saat ini. Berpikir, mungkinkah ini jalan terbaik? Terdengar jahat sekali memang, tapi begitulah kenyataannya.
Jemari ingatanku menyibak kabut kelam di dalam kepalaku. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku.
“DASAR GEMBEL!”
Aku sedang asyik bermain monopoli dengan Uzay di ruang tengah, ketika Eksak berderap masuk dan membanting pintu. Kami berdua mendongak bersamaan. Khusus untukku, diiringi dengan rasa was-was dan debaran jantung di atas normal.
Tanpa menyapa, Eksak langsung berderap cepat ke kamarnya di lantai dua dan meneriakkan penghinaan itu. Aku sempat bertanya-tanya, siapa yang dikatakan gembel. Apakah aku? Baru semenit aku bergelut dengan diriku sendiri, langkah kasar Eksak memenuhi ruangan.
“Mau kemana lagi?” tanya Uzay tegas.
“Heh! Emangnya elo siapa tanya-tanya gue mau kemana? Urusan gue, dasar sampah!” sembur Eksak. Aku bisa melihat dengan jelas, urat kemarahan mulai menyeruak. Tapi apa yang harus aku lakukan? Hal seperti ini memang bukan yang pertama kali, mungkin kali ini adalah kali ke 123. Entahlah, jadi daripada bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan, aku memutuskan untuk diam saja. Menunduk dan mulai menggigiti bibir bawahku dengan gugup.
“Gua adik lo, jadi gue punya hak untuk tau kemana aja lo pergi, sama siapa? Lagian Pap...”
“HALAH, PAPA LAGI PAPA LAGI,” potong Eksak cepat. “APA? MAU NGADU KE PAPA APA AJA YANG GUE LAKUIN SELAMA INI? LO PIKIR MEMPAN? SORI, BRO... BASI!” Selain mulutnya yang seperti harimau, ternyata tangannya juga seperti harimau. Tak lama sebuah vas bunga berisi mawar putih pecah akibat bantingan keras yang dilakukan Eksak.
Papa dan Mama mereka selalu sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Maklum pengusaha kaya raya. Urusannya ke luar negeri terus. Seperti kali ini. Di rumah hanya mereka berdua. Seperti Tom and Jerry. Ribut terus dan tidak jarang juga adu jotos. Kadang Uzay pergi ke sekolah dengan muka tidak jauh dengan kecoak keinjek.
“Gue nggak peduli. Pokoknya lo ha...” bantingan keras pintu depan membuat Uzay langsung terdiam.
Aku mendongak demi melihat kondisi Uzay. Apakah Uzay baik-baik saja? Aku melihatnya menghela napas panjang, menatapku datar.
“Maaf, Wury,” katanya, “kamu harus ngelihat ini semua. Setiap kali kamu ke sini yang ada cuma pemandangan yang bener-bener bikin nyesek.”
“Jangan konyol, ini aku. Pertengkaran keluarga itu udah biasa kali, Zay. Aku sama Mas Irwan kalo di rumah juga kayak gitu kok!” ujarku. Tapi tebak saja aku berbohong. Dan... ya, aku memang berbohong demi Uzay. Mas Irwan berbeda 180 derajat kalau dibanding dengan Eksak. Eksak kasar sekali, seperti singa kelaparan kalau sedang marah. Dan jeleknya, Eksak marah hampir setiap hari. Ketika Uzay curhat tentang kelakuan Eksak yang sangat tidak normal, sangat kasar dan sangat tidak berperikemanusiaan, aku hanya bilang “Bawa saja ke psikolog, atau ke psikiater sekalian?”
“Harusnya!” desisnya pelan, matanya menerawang. “Tapi coba aja, Ry, kalau tanganku utuh setelah menyuruhnya ke psikiater, bakalan aku sembah dia deh!”
“Haha... aduh, kok horor banget sih. Begitu tuh kalo kebiasaan nonton film kriminal!” Aku mendorong bahunya dengan sikap bercanda.
“Aku serius lho, Ry!” Eh, kok Uzay malah murung sih?
Oke, aku tahu Eksak memang sesadis itu. Tapi apa yang harus aku lakukan untuk menghiburnya. Aku bukan tukang hibur ulung memang, tapi aku bisa membuat Uzay minimal tersenyum. Bukan Wury namanya kalau membuat seorang Uzay tersenyum saja tidak becus.
Aku menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Zay, aku tau Eksak itu kayak Joker, sadissss,” Uzay menatapku. “Saaadis banget. Kamu udah berjuta-juta kali cerita tentang Eksak yang katamu keparat itu. Tapi apa kamu lupa bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kalian itu adalah darah yang sama? Mungkin Eksak itu hanya merasa frustasi kali, sadar kalo dia itu nggak secerdas kamu. Kamu bilang dia kan otaknya otak udang. Dan ingat, dia hanya bermulut besar aja!”
“Dia emang berotak udang. Udang gila!” desisnya tajam.
Aku mengenal Uzay sekitar dua tahun lalu. Ada yang aneh memang, aku tidak punya sahabat perempuan, dan satu-satunya sahabatku adalah Uzay dan setahuku dia laki-laki. Tapi, walaupun Uzay itu laki-laki, serius deh, dia itu lembut, sensitif, dan nasibnya kasihan banget deh. Uzay juga tidak pernah ngomong kasar. Jadi, aku tahu persis kalau Uzay ngomong kasar berarti dia memang sedang kacau dan marah. Seperti kali ini, berkata Eksak berotak udang gila.
Aku hanya tersenyum simpul menanggapi gurauannya. Wait... gurauan? Ini sih umpatan, luapan emosinya.

***

“WURY!” Aku menoleh ketika berjalan menyusuri koridor menuju kelas XI IPA-1.
“Huwiii... tumben plangas plenges. Kenapa?”
Uzay mendorongku pelan. Tapi sumpah deh aku hampir saja nyungsep ke depan. “Aku tadi malam berdoa dong.”
Aku menaikkan alisku. Heran? Jelas. Berdoa saja kok berkoar-koar begitu. Ketahuan deh kemarin-kemarin nggak pernah berdoa. “Apaan?” Akhirnya aku bertanya juga.
“Ya biar dikasih yang terbaik aja, GIMANAPUN CARANYA!” Ebuset... di telingaku. Teriak lagi.
“Ya kan kalo berdoa emang pengen yang terbaik. Kamu aneh deh,” ujarku.
“Tapi kalo ini beda, Ry. Aku pengen si Eksak brengsek itu nggak semena-mena lagi sama aku. Pokoknya biar tobat deh,” jelasnya.
“Teruus?”
“Ya, iya sih, dia itu saudara kandungku. Kakak kandungku. Serius, aku benci banget sama dia. Dan aku nggak bakal nyesel, sedih atau apalah kalo dia itu pergi jauh sekalian!”
“Hush...”
“Kok ‘hush’ sih?”
“Hash...” jawabku sekenanya. Uzay ngakak. Nggak ngerti deh kenapa ngakak?
“Emang kenapa sih kalo aku doa kayak gitu?” tanyanya setelah reda ngakaknya.
“Nggak baik lagi. Kalo doamu di-amini sama Allah gimana? Eksak pergi jauh beneran gimana?”
Uzay tampak berpikir. “Nggak tau deh!” Kemudian dia berlalu meninggalkanku.
Aku hanya berharap semuanya baik-baik saja. Aku yakin Eksak bisa sadar sepenuhnya kalau sikapnya selama ini benar-benar keliru besar dan dia akan mengakui bahwa dia hanya bermulut besar saja. Dan aku benar-benar berharap, untuk membuatnya sadar tidak perlu memberinya cobaan besar. Hal sederhana bisa menjadi andalan, tapi sesederhana apapun itu, hanya Allah yang tahu.

***

Pulang sekolah, aku kelaparan. Tanpa menanggalkan seragam dan menggantinya dengan kaos, aku langsung berlari ke dapur. Menggeresek meja makan kosong dan aku benar-benar kecewa. Tapi ada kerupuk tenggiri di atas kulkas di dalam plastik yang tidak terbungkus dengan benar. Tapi aku tetap memungutnya, lumayan untuk meredam gempa kecil yang mengguncang perutku. Menuangkannya ke dalam mangkok kecil dan membawanya ke kamar.
Aku sedang menggigiti kerupuk melempem itu ketika ponselku berdering. Ingin sekali aku mengabaikannya, tapi entah mengapa dorongan untuk mengangkatnya jauh lebih besar dari apapun juga. Uzay? Aku menekan tombol hijau.
“Haloooooo...” sapaku.
“...”
“Halooo, Zay, aku laper jangan bikin tambah laper deh!” gerutuku.
“...”
“Zay!” Rasa cemas mulai merabaku. Tidak biasanya Uzay seperti ini. Aku mengira dia sedang bercanda. “Serius dong, Zay?”
“Ry, ke rumahku, ya? Eksak...” kalimatnya menggantung. Suaranya serak dan pasti ada sesuatu.
“Ada apa, Zay?” tanyaku hati-hati.
“Dia... dia...” Aku bisa mendengar suaranya tercekat dan terputus-putus. Dan aku tidak mau menyiksanya lebih lama. Aku hanya merasa yakin sekali kalau memang ada sesuatu yang tidak biasa.
“Aku ke rumahmu sekarang!” Potongku cepat. Aku bergegas berganti pakaian.
Langkahku terhenti tepat di ambang pintu karena ponselku bergetar tanda sms masuk. Apakah aku harus membuka dan membacanya, padahal aku sedang dalam kondisi yang boleh dibilang sangat mendesak. Tapi toh aku tidak sanggup mengabaikannya.

Uzay
Apa doaku bener2 diamini Allah?
Eksak kecelakaan, dia pergi. Bener2 jauh
Aku butuh kamu, Ry

Aku terkesiap. Mematung beberapa saat sebelum memaksa kakiku melangkah.

***

Satu jam kemudian, Uzay setuju waktu kuajak pulang dari makam. Aku membawa mobilku pelan, tapi aku tidak membawanya pulang ke rumahnya. Aku membawanya pulang ke rumahku. Tidak ada protes. Di dalam mobil kita terdiam. Aku terlalu takut untuk mengeluarkan sepatah kata, atau lebih tepatnya, aku tdak tahu apa yang harus aku katakan. Aku melirik ke samping, kulihat Uzay menyandarkan kepalanya, menghadap ke luar. Pantulan wajahnya di kaca jendela menampakkan tatapan kosong.
Uzay langsung masuk ke kamarku begitu kita sampai. Meringkuk di dalam selimut. Aku bertanya-tanya, mungkinkah ia mengira ini adalah rumahnya? Masuk begitu saja, tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Tapi aku tidak kuasa menahannya, maka aku membiarkannya saja. Aku masuk dapur, menjerang air panas dan membuat teh. Aku pernah membaca sebuah artikel di majalah, jika ada orang yang tertekan jiwanya, maka buatkanlah teh hangat.
Aku masuk ke dalam kamar, membiarkan pintu terbuka lebar, menaruh cangkir teh di atas meja kecil sebelah tempat tidur, kemudian membuka tirai jendela lebar-lebar. Aku hanya duduk diam di pinggir kasur. Berdebat dengan pikiranku sendiri, apakah aku harus meninggalkannya sendirian atau menunggunya. Siapa tahu dia butuh telinga untuk mendengarkan kesedihannya.
Ketika aku memutuskan untuk keluar, aku mendengar isakan. Aku menoleh cepat ke arahnya dan benar saja, Uzay mulai menangis. Aku mulai tersadar. Aku ingat bahwa sejak pertama melihat Uzay kemarin sore di rumahnya, aku belum melihatnya menangis. Tapi melihatnya menangis kali ini, justru membuatku lega. Setidaknya ia tidak diam saja, melancarkan tatapan-tatapan kosong dan justru kalau Uzay diam seperti itu, aku takut terjadi sesuatu padanya.
Aku kembali terduduk. Mendengarnya menangis. Menunggunya berbicara.
“Aku membunuhnya, Ry,” suaranya parau.
“Jangan menyalahkan dirimu. Aku tahu ini berat, beraaat banget. Aku tahu, apa yang membuatmu merasa bersalah. Tapi percayalah, Zay, itu hanya perasaanmu saja,” aku tidak yakin dengan perkataanku ini, tapi aku melanjutkannya juga, “ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan kenapa dan salah siapa. Yang terpenting, berdoalah dan minta maaf. Oke!”
“Kalau saja aku nggak menyumpahinya, mung...”
“Cukup.” Potongku cepat. “Sekarang minum tehnya, terus ambil wudhu dan shalat ashar!”


Beberapa hari kemudian aku bisa melihat perubahan kecil pada diri Uzay. Tidak semenakutkan kemarin. Di kelas aku menangkapnya tertawa ketika mendengar lelucon-lelucon konyol teman sekelas. Yah, walaupun habis itu dia tampak murung lagi, tapi setidaknya ada kemajuan.
Pulang sekolah aku menawarinya jalan-jalan.
“Beteng Malioboro?” Uzay menggeleng.
“Tamansari? Parangtritis? Kaliurang? Prambanan?” Jawaban tetap sama.
Aku duduk diam di belakang setir, menyerah. Menunggu perintah mau kemana saja.
“Aku kangen Eksak!” celetuknya. Tanpa disuruh, aku langsung tancap gas menuju ‘rumah’ Eksak. Jujur, pikiranku berkecamuk. Sedih, takut, lega.
Ya Allah, apakah ini cara ajaibmu untuk membuat mereka berdua akur? Kenapa bukan dengan cara lain? Yang lebih sederhana? gumamku dalam hati.
Sesampainya di sana, aku berdiri di belakang Uzay yang mulai sibuk berbicara dengan Eksak. Aku hanya mampu berdiri, menatap mereka ‘akur’ untuk pertama kalinya dan jujur, pemandangan itu membuat... oh... air mataku menyeruak ke luar. Untuk pertama kalinya juga sejak Eksak pergi jauh. Tapi aku tidak akan menghapusnya. Aku hanya mundur beberapa langkah sebelum berbalik ke mobil dan mulai terisak kencang.
Pelajaran yang aku petik. Pertama, aku bersyukur mempunyai Mas Irwan yang begitu sayang padaku. Kedua, sebenci apapun, semarah apapun, semuak apapun kita dengan saudara atau orang lain, jangan pernah menyumpahi dengan doa kasar. Karena kita tidak tahu, apakah Allah akan mendengar dan mengabulkannya ataukah Allah hanya mendengar saja. Dan hal paling aman adalah diam, meredam dengan hati dingin. Sembari mengukur seberapa dalam kesabaran kita, dan jika tidak cukup dalam, kita bisa melatihnya. Bukan hal berat, justru akan menjadi hal yang menyenangkan sekaligus menyejukkan. Percayalah!

"Cerita ini diikutsertain dalam 'Giveaway Buku Bekas Gue' karna 'eksak' lagi ulang tahun."


P.S : 

Eksak : Eks, maaf, nggak bermaksud nge-bully kamu (walaupun kenyataannya begitu, hehe, piss...). Bukan salahku kalau aku memakai namamu. Dan SELAMAT ULANG TAHUUUN :D

Uzay : Zay, inget, aku udah ijin lho, tapi nggak janji bikin cerita yang hepiiii...

55 comments

23 April 2012 pukul 10.29

Coba masukin tabloid ni cerpennya, siapa tau diterima :))

23 April 2012 pukul 10.36

wury ceritanya bgus.. semoga bisa menang di GA nya ya wur :)

23 April 2012 pukul 10.59

ini based on true story tapi Eksak belum meninggal yah?

23 April 2012 pukul 11.51

1. Speechless
2. kok tau banget sih sifat gw emang kaya gitu?? keras kaya batu n ngga gampang tersentuh kalau ada musibah sekalipun
3. uhuk Wury romantis bener dah ah haha..
4. kasian eksak dimana-mana dia ngga beruntung *digampar eksak..
5. sukses GA nya...

23 April 2012 pukul 12.23

waaa kereen ceritanya. smoga menang yach :)

23 April 2012 pukul 12.28

wahh, semakin banyak nih pesaing mendapatkan hadiah di ultah si Eksak! hihiiii...

23 April 2012 pukul 12.33

wury ini keren looh, aku ga bisa nih bikin cerita seperti ini.. sukses ya GA nya ;)

23 April 2012 pukul 13.11

ijin nyimak sobat

23 April 2012 pukul 13.30

Uzaynya lagi nyimak tuh wur
hehehe
bikin merinding ceritanya
apalagi waktu kamu nerima sms dari uzay

23 April 2012 pukul 13.36

Baguuuuus, wuryyyyy...aku sukaaaaa ^_^
Two thumbs up buat kamu darling! d(^_^)b

I wish u luck for GA!

23 April 2012 pukul 13.45

@Faizal Indra kusuma Nggak pede ah :D

23 April 2012 pukul 13.45

@Aiinizza Wynata Oya? Hihihi, makasiiiih cantik :)

23 April 2012 pukul 13.46

@Ario Antoko Bukan, ini fiksi kok Rio :), Eksak belum meninggal, tuh orangnya lagiii... ngapain ya? Tidur kale :D

23 April 2012 pukul 13.47

@Uzay ^,^ Aduuuh, siap-siap kena lempar botol nih kalo Eksak sampe sini, hehehehe... malang bener nasibnye dimana-mana :D

23 April 2012 pukul 13.48

@nita terima kasiiih :D

23 April 2012 pukul 13.48

hoohoo... puanjang banget,...
diselubungi amanat yang dalem bgt maknanya..

keren.. :D

23 April 2012 pukul 13.48

@Bung Penho Apakah aku termasuk pesaingmu, Bung? :D

23 April 2012 pukul 13.49

@NF Alah, mbak NF pasti bisa. Punya mbak NF juga bagus, kasihan eksak patah hati :D

23 April 2012 pukul 13.49

@Falah Mulyana Selamat menyimak :)

23 April 2012 pukul 13.50

@rizki_ris Merinding? Aduh, kayak cerita horor dong Riz, hehehe...
Hu'um, yang penting dah ijin ah :D

23 April 2012 pukul 13.51

@Mayya Four thumbs up for me dooong, mbaaak :D
Thanks, Mbak :D

23 April 2012 pukul 15.22

Yah ga pede, harus PD dong... Pasti bisa ayoayoayo :))

23 April 2012 pukul 15.57

mampir...lagi. mantapss

23 April 2012 pukul 16.22

wahhh. sadis, si eksaknya mati, bener bener gawat nie. hahha. tapi seru, ada nilai sedih dan penyesalan, sebelum itu terjadi (ups, jangan lah ya) hanay untuk di ambil pelajrannya saja. kita akan selalu sayang sama keluarga. sukses buat lombanya.

23 April 2012 pukul 16.37

wow....ceritanya bagus banget wur....

memang ya sesuatu baru terasa begitu berarti saat dia sudah tak ada lagi di dekat kita ya, seperti uzay yang kangen dengan eksak setelah eksak meninggal ya...

23 April 2012 pukul 16.56

Hiks...ikutan nangisss :(
kudu ati2 juga ye dalam berdoa.

23 April 2012 pukul 19.43

hihihi, lagi2 eksak jadi objek penderita 1, 2, 3, dan seterusnya, sungguh malang nabib mu sak ... :D
sukses ya sama GA nya :D

23 April 2012 pukul 20.50

wich,mantab ceritana mbak...sumprit mantab.

23 April 2012 pukul 20.50

@Wury

Gue masih belum menyatakan ikut non! kan lagi bingung mo nulis apa heheheee...

23 April 2012 pukul 21.32

Cerita yang sangat menarik. banyak hikmah yang bisa di petik.

24 April 2012 pukul 08.49

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un... Smoga eksak diampuni karna lagi ultah! Huhuhu...

Wurrrr...! That's me? Whoaaa, what's a pity me! Semoga eksak tmbah ganteng, karna sering diomong orang! Bhahaha

@@@@@@@@@@@@@

dah distempel konfirm keikutsertaannya, mbak! Sukses, ya! Ane dukung yg ini! (aih...knp jd nepo?) huhuhu, kliatan gk stempelnya? Gak ya? Huhuhu...

24 April 2012 pukul 09.03

baguss wury ceritanya, saya pikir bukan fiksi lho tadinya
semoga menang kontesnya! sukses :D

24 April 2012 pukul 14.50

Wah Sad + Happy ending neh wury hehehe...

Eksak2 kalo ngomong tuh mbok yang halus dikit napa seh hahahha...

Ceritanya bagus wuri, pake alur mundur ya? Pesen di akhir cerita ngena :)

24 April 2012 pukul 16.40

cerita yang menarik.....

24 April 2012 pukul 18.55

wury cantik... ceritanya baguss..
mm.. nambahin ahhh... eksak emang keparat, yaa?? wkwkwkwwk..
kasian kasian..
spertinya ini kisah beneran.. andai emang bener.. mm.. siapa yang seneng?? bhahaha..
kidding :p

uzay emang si gingsul yang paling kalem,, hehe..

salam buat mas Irwan yaa sayank :D

24 April 2012 pukul 20.02

cerpenmu keren-keren yak. Moga menang giveawaynya yak

24 April 2012 pukul 21.27

Hahahaha kerennnn!
Cieee sahabatnya gingsul :D
Semoga menang yo mbak~

25 April 2012 pukul 13.23

@Bung Penho Cari ide dulu sana, DLnya masih luama buanget kok :D

25 April 2012 pukul 13.24

@srulz Iya nih, soalnya kalo pendek ntar cerita nggak nyampek, harus panjang nih :D

25 April 2012 pukul 13.25

@Faizal Indra kusuma Waaah, kalo udah disemangatin kayak gini, mau gimana lagi :D

25 April 2012 pukul 13.26

@PAKNING BERTUAH Iya, silakan :)

25 April 2012 pukul 13.26

@cerita anak kost Yap, begitulah maksud yang pengen aku sampaikan, semoga berkenan ya huihihihi

25 April 2012 pukul 13.28

@Mami Zidane terima kasih, Mami :)

Iya begitulah mi, bener ya penyesalan selalu datang belakangan. Maka dari itu, ayo mulai sekarang kita blablabla... walah malah ceramah huihihi... tapi maksudku dapet nggak, Mi? :D

25 April 2012 pukul 13.30

@Si Belo Si Nay, bisa nangis juga ya? Hiks, jadi ikutan nangis juga nih :( :D

Berdoa kudu ada batasannya juga, Nay... ini kataku lhooo hihihi

25 April 2012 pukul 13.31

@Stupid monkey he-eh, kasihan ya banget ya. Tapi eksaknya ikhlas-ikhlas aja kok walopun dijadiin objek penderita terus hehehehe

Okee, makasih ya :D

25 April 2012 pukul 13.32

@Agriculturproduct Beneran nih?

25 April 2012 pukul 13.33

@Djangkaru Bumi Makasih :)

25 April 2012 pukul 13.34

@eksak Mana stempelnyaaaaa, nggak keliatan :D
Aduuuh, anak ganteng, maap yee, tak doain tambah ganteng aja deh :D

25 April 2012 pukul 13.34

@Tiesa Makasih ya, Tis. Kayak beneran ya. Aduuuh, jangan deh kalo beneran hehehe

25 April 2012 pukul 13.35

@Anak Rantau Hu'um, aku lebih suka pake alur mundur, bisa ngejelasin semuanya hehehe

Iya, tuh, si eksak sekate-kate aja ngomongnya :D

25 April 2012 pukul 13.36

@Aninda Naima Terima kasiiih :)

25 April 2012 pukul 13.38

@cah_kesesi_ayutea Lhaaaah, kok malah kayak ada yang seneng yaaa? hayooooo, si cantik satu ini kayaknya ada 'sesuatu' nih, huihihihihi

Emang Uzay kalem ya? Aduh, ngepas aja nih.

Mas Irwan? Tokok khayalanku ada yang naksir jugakah? :D
Salam balik katanya, Mas Eksak :D

25 April 2012 pukul 13.38

@Teguh Budi Waaah, memuji nih. Makasih yaa :D

25 April 2012 pukul 13.39

@Tebak Ini Siapa Iya niiih, sahabatn sama gingsul hihihi
Oke deh, doanya aja deh, Un :D

25 April 2012 pukul 21.42

@Wury eeiittss.. wury sayang... tak boleh gosiip.. ckckckk

ehh boleh ding.. :D

Posting Komentar

 
Powered by Blogger