Baru sekali ini aku menghadiri acara pemakaman.
Suara orang-orang menyerupai dengungan di telingaku. Aku mengedarkan mataku
dari ujung ke ujung, tapi hanya sosok-sosok berbalut pakaian hitam yang
kulihat. Oh... dan pohon kamboja dan langsung saja mataku berkunang-kunang.
Entah mengapa?
Bau khas makam menyeruak hidungku. Wangi mawar dan
kemenyan menjadi satu, membuat kepalaku berdenyut-denyut. Secepat mungkin aku
memijat lembut pelipisku dengan jari-jariku, setengah berharap denyutan yang
menyerangku menguap di udara. Oh... betapa ingin aku cepat-cepat meringkuk di
balik selimut tebalku. Membayangkannya saja terasa nikmat. Tapi nikmat yang aku
rasa tidak dibarengi dengan senyum simpulku, seperti biasa. Kali ini,
entahlah... bukan karena suasana seram makam ini atau gundukan basah di
depanku. Aku hanya merasa takut saja.
“Zay, pulang yuk,” aku menyodoklen gan Uzay dengan
sikuku. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menyodoknya, ia tidak akan bergerak
sedikitpun. Sepertinya gundukan basah dengan taburan bunga di depan kami cukup
hebat mengguncang separuh jiwanya. Separuh? Bukan. Tapi segenap jiwanya. Aku
kasihan sekali melihatnya seperti itu. Maka, aku melingkarkan tanganku ke
lengannya dan mengusapnya lembut.
“Zay, kepastian. Tidak ada yang menginginkan ini
semua terjadi,” hiburku pelan.
“Tapi ini semua salahku, Ry,” gumamnya. “Sumpah
serapahku. Doaku. Aku benci diriku sendiri!” Uzay menggeleng pelan, seolah
mengusir kegundahan dan rasa bersalah yang merobek hatinya. Wajahnya sungguh
kacau.
Awalnya aku tidak terlalu paham mengapa Uzay
menganggap dirinya bersalah atas kematian kakak laki-lakinya itu. Bukankah
selama ini ia selalu membenci dan dibenci. Saling manjatuhkan dan tidak pernah
akur selama hidup bersama. Aku sendiri juga tidak terlalu mengenal Eksak, kakak
Uzay, selama ini. Bukan karena aku tidak pandai bergaul, tapi lebih cenderung
kepada sikap hati-hati saja. Dan juga karena peringatan keras dari Uzay.
“Kalau mau selamat, jangan pernah kenal sama Eksak
keparat itu!” Uzay menyemburkan kalimat itu lengkap dengan cengkeraman keras di
lenganku dan tatapan menusuk mataku. Aku sempat bergidik ngeri ketika itu.
Uzay terduduk di tanah basah. Aku hanya bisa diam,
menunggu kapan Uzay mengabulkan ajakanku untuk pulang saja. Aku hanya tidak
ingin melihatnya terus-terusan merasa bersalah kalau tetap berada di sini.
Pulang itu lebih baik menurutku.
***
Ketika sore itu aku mendapat berita kecelakaan
maut itu merenggut nyawa kakak Uzay, aku langsung melesat cepat ke rumahnya.
Aku sudah sampai. Sebenarnya hanya tinggal melangkahkan kakiku saja untuk
menyeberang halaman besar itu dan masuk ke dalam rumah mewah itu. Tapi
pemandangan yang menyambutku terasa ganjil dan aneh. Biasanya, aku disambut
oleh kesunyian yang menyergap. Seolah jika menginjakkan kaki ke halaman besar itu,
kebahagiaan seakan lenyap. Aku membayangkan para dementor di film Harry Potter
sudah bermigrasi ke rumah Uzay dan menyerap energi kebahagiaanku. Tapi kali
ini, aku hanya bisa berdiri lemah dengan satu tangan menggenggam erat besi
gerbang. Selama beberapa detik, aku membiarkan mataku menyapu langkah kaki
orang-orang yang terlihat sangat sibuk. Memasang tenda, menata kursi, dan
saling berteriak menyerukan perintah-perintah. Setelah pulih, aku mulai
melangkah.
Aku mendapati Uzay sedang terduduk lesu. Di depan Eksak
yang sedang tidur panjang. Aku tidak bisa melihatnya karena memang seluruh
tubuh Eksak tertutup kain panjang. Kerabat, sanak saudara berkumpul di ruangan
itu. Mata sembab, hidung merah, menandakan mereka sedang berduka
sedalam-dalamnya. Kecuali Uzay, aku tidak melihatnya menangis, ia hanya diam,
mukanya pucat seolah seluruh warna luntur dari wajahnya.
Aku sendiri merasa sedih, tapi masih dalam batas
wajar saja. Bahkan, aku sadar sepenuhnya jika air mataku tidak mampu mengalir
walaupun aku paksa sekalipun. Apa aku mempunyai hati sekeras batu? Tidak. Karena...
entahlah, aku sendiri masih ragu dengan alasan yang aku pikirkan beberapa detik
sebelumnya. Karena Uzay terbebas dari perlakuan buruk kakaknya? Karena Uzay
tidak akan lagi mendengar penghinaan, racauan kakaknya terhadapnya, dan yang
paling penting, tidak lagi mendapati kakaknya pulang larut malam dengan hangover parahnya. Itulah alasan-alasan
yang berhasil aku kumpulkan selama beberapa detik terakhir. Hebat bukan? Tapi
yang pasti, ada setitik kelegaan menyelimutiku saat ini. Berpikir, mungkinkah
ini jalan terbaik? Terdengar jahat sekali memang, tapi begitulah kenyataannya.
Jemari ingatanku menyibak kabut kelam di dalam
kepalaku. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku.
“DASAR GEMBEL!”
Aku sedang asyik bermain monopoli dengan Uzay di
ruang tengah, ketika Eksak berderap masuk dan membanting pintu. Kami berdua
mendongak bersamaan. Khusus untukku, diiringi dengan rasa was-was dan debaran
jantung di atas normal.
Tanpa menyapa, Eksak langsung berderap cepat ke
kamarnya di lantai dua dan meneriakkan penghinaan itu. Aku sempat
bertanya-tanya, siapa yang dikatakan gembel. Apakah aku? Baru semenit aku
bergelut dengan diriku sendiri, langkah kasar Eksak memenuhi ruangan.
“Mau kemana lagi?” tanya Uzay tegas.
“Heh! Emangnya elo siapa tanya-tanya gue mau
kemana? Urusan gue, dasar sampah!” sembur Eksak. Aku bisa melihat dengan jelas,
urat kemarahan mulai menyeruak. Tapi apa yang harus aku lakukan? Hal seperti
ini memang bukan yang pertama kali, mungkin kali ini adalah kali ke 123.
Entahlah, jadi daripada bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan, aku
memutuskan untuk diam saja. Menunduk dan mulai menggigiti bibir bawahku dengan
gugup.
“Gua adik lo, jadi gue punya hak untuk tau kemana
aja lo pergi, sama siapa? Lagian Pap...”
“HALAH, PAPA LAGI PAPA LAGI,” potong Eksak cepat. “APA?
MAU NGADU KE PAPA APA AJA YANG GUE LAKUIN SELAMA INI? LO PIKIR MEMPAN? SORI,
BRO... BASI!” Selain mulutnya yang seperti harimau, ternyata tangannya juga
seperti harimau. Tak lama sebuah vas bunga berisi mawar putih pecah akibat
bantingan keras yang dilakukan Eksak.
Papa dan Mama mereka selalu sibuk dengan urusan
bisnis masing-masing. Maklum pengusaha kaya raya. Urusannya ke luar negeri
terus. Seperti kali ini. Di rumah hanya mereka berdua. Seperti Tom and Jerry.
Ribut terus dan tidak jarang juga adu jotos. Kadang Uzay pergi ke sekolah
dengan muka tidak jauh dengan kecoak keinjek.
“Gue nggak peduli. Pokoknya lo ha...” bantingan
keras pintu depan membuat Uzay langsung terdiam.
Aku mendongak demi melihat kondisi Uzay. Apakah Uzay
baik-baik saja? Aku melihatnya menghela napas panjang, menatapku datar.
“Maaf, Wury,” katanya, “kamu harus ngelihat ini
semua. Setiap kali kamu ke sini yang ada cuma pemandangan yang bener-bener
bikin nyesek.”
“Jangan konyol, ini aku. Pertengkaran keluarga itu
udah biasa kali, Zay. Aku sama Mas Irwan kalo di rumah juga kayak gitu kok!”
ujarku. Tapi tebak saja aku berbohong. Dan... ya, aku memang berbohong demi Uzay.
Mas Irwan berbeda 180 derajat kalau dibanding dengan Eksak. Eksak kasar sekali,
seperti singa kelaparan kalau sedang marah. Dan jeleknya, Eksak marah hampir
setiap hari. Ketika Uzay curhat tentang kelakuan Eksak yang sangat tidak
normal, sangat kasar dan sangat tidak berperikemanusiaan, aku hanya bilang “Bawa
saja ke psikolog, atau ke psikiater sekalian?”
“Harusnya!” desisnya pelan, matanya menerawang.
“Tapi coba aja, Ry, kalau tanganku utuh setelah menyuruhnya ke psikiater,
bakalan aku sembah dia deh!”
“Haha... aduh, kok horor banget sih. Begitu tuh
kalo kebiasaan nonton film kriminal!” Aku mendorong bahunya dengan sikap
bercanda.
“Aku serius lho, Ry!” Eh, kok Uzay malah murung
sih?
Oke, aku tahu Eksak memang sesadis itu. Tapi apa
yang harus aku lakukan untuk menghiburnya. Aku bukan tukang hibur ulung memang,
tapi aku bisa membuat Uzay minimal tersenyum. Bukan Wury namanya kalau membuat
seorang Uzay tersenyum saja tidak becus.
Aku menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Zay,
aku tau Eksak itu kayak Joker, sadissss,” Uzay menatapku. “Saaadis banget. Kamu
udah berjuta-juta kali cerita tentang Eksak yang katamu keparat itu. Tapi apa
kamu lupa bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kalian itu adalah darah yang
sama? Mungkin Eksak itu hanya merasa frustasi kali, sadar kalo dia itu nggak
secerdas kamu. Kamu bilang dia kan otaknya otak udang. Dan ingat, dia hanya
bermulut besar aja!”
“Dia emang berotak udang. Udang gila!” desisnya
tajam.
Aku mengenal Uzay sekitar dua tahun lalu. Ada yang
aneh memang, aku tidak punya sahabat perempuan, dan satu-satunya sahabatku
adalah Uzay dan setahuku dia laki-laki. Tapi, walaupun Uzay itu laki-laki,
serius deh, dia itu lembut, sensitif, dan nasibnya kasihan banget deh. Uzay
juga tidak pernah ngomong kasar. Jadi, aku tahu persis kalau Uzay ngomong kasar
berarti dia memang sedang kacau dan marah. Seperti kali ini, berkata Eksak
berotak udang gila.
Aku hanya tersenyum simpul menanggapi gurauannya. Wait... gurauan? Ini sih umpatan, luapan
emosinya.
***
“WURY!” Aku menoleh ketika berjalan menyusuri
koridor menuju kelas XI IPA-1.
“Huwiii... tumben plangas plenges. Kenapa?”
Uzay mendorongku pelan. Tapi sumpah deh aku hampir
saja nyungsep ke depan. “Aku tadi malam berdoa dong.”
Aku menaikkan alisku. Heran? Jelas. Berdoa saja
kok berkoar-koar begitu. Ketahuan deh kemarin-kemarin nggak pernah berdoa.
“Apaan?” Akhirnya aku bertanya juga.
“Ya biar dikasih yang terbaik aja, GIMANAPUN
CARANYA!” Ebuset... di telingaku. Teriak lagi.
“Ya kan kalo berdoa emang pengen yang terbaik.
Kamu aneh deh,” ujarku.
“Tapi kalo ini beda, Ry. Aku pengen si Eksak
brengsek itu nggak semena-mena lagi sama aku. Pokoknya biar tobat deh,”
jelasnya.
“Teruus?”
“Ya, iya sih, dia itu saudara kandungku. Kakak
kandungku. Serius, aku benci banget sama dia. Dan aku nggak bakal nyesel, sedih
atau apalah kalo dia itu pergi jauh sekalian!”
“Hush...”
“Kok ‘hush’ sih?”
“Hash...” jawabku sekenanya. Uzay ngakak. Nggak
ngerti deh kenapa ngakak?
“Emang kenapa sih kalo aku doa kayak gitu?”
tanyanya setelah reda ngakaknya.
“Nggak baik lagi. Kalo doamu di-amini sama Allah
gimana? Eksak pergi jauh beneran gimana?”
Uzay tampak berpikir. “Nggak tau deh!” Kemudian
dia berlalu meninggalkanku.
Aku hanya berharap semuanya baik-baik saja. Aku
yakin Eksak bisa sadar sepenuhnya kalau sikapnya selama ini benar-benar keliru
besar dan dia akan mengakui bahwa dia hanya bermulut besar saja. Dan aku
benar-benar berharap, untuk membuatnya sadar tidak perlu memberinya cobaan
besar. Hal sederhana bisa menjadi andalan, tapi sesederhana apapun itu, hanya
Allah yang tahu.
***
Pulang sekolah, aku kelaparan. Tanpa menanggalkan
seragam dan menggantinya dengan kaos, aku langsung berlari ke dapur.
Menggeresek meja makan kosong dan aku benar-benar kecewa. Tapi ada kerupuk
tenggiri di atas kulkas di dalam plastik yang tidak terbungkus dengan benar.
Tapi aku tetap memungutnya, lumayan untuk meredam gempa kecil yang mengguncang
perutku. Menuangkannya ke dalam mangkok kecil dan membawanya ke kamar.
Aku sedang menggigiti kerupuk melempem itu ketika
ponselku berdering. Ingin sekali aku mengabaikannya, tapi entah mengapa
dorongan untuk mengangkatnya jauh lebih besar dari apapun juga. Uzay? Aku
menekan tombol hijau.
“Haloooooo...” sapaku.
“...”
“Halooo, Zay, aku laper jangan bikin tambah laper
deh!” gerutuku.
“...”
“Zay!” Rasa cemas mulai merabaku. Tidak biasanya
Uzay seperti ini. Aku mengira dia sedang bercanda. “Serius dong, Zay?”
“Ry, ke rumahku, ya? Eksak...” kalimatnya
menggantung. Suaranya serak dan pasti ada sesuatu.
“Ada apa, Zay?” tanyaku hati-hati.
“Dia... dia...” Aku bisa mendengar suaranya
tercekat dan terputus-putus. Dan aku tidak mau menyiksanya lebih lama. Aku
hanya merasa yakin sekali kalau memang ada sesuatu yang tidak biasa.
“Aku ke rumahmu sekarang!” Potongku cepat. Aku
bergegas berganti pakaian.
Langkahku terhenti tepat di ambang pintu karena ponselku
bergetar tanda sms masuk. Apakah aku harus membuka dan membacanya, padahal aku
sedang dalam kondisi yang boleh dibilang sangat mendesak. Tapi toh aku tidak
sanggup mengabaikannya.
Uzay
Apa doaku bener2 diamini Allah?
Eksak kecelakaan, dia pergi. Bener2 jauh
Aku butuh kamu, Ry
Aku terkesiap. Mematung beberapa saat sebelum
memaksa kakiku melangkah.
***
Satu jam kemudian, Uzay setuju waktu kuajak pulang
dari makam. Aku membawa mobilku pelan, tapi aku tidak membawanya pulang ke
rumahnya. Aku membawanya pulang ke rumahku. Tidak ada protes. Di dalam mobil
kita terdiam. Aku terlalu takut untuk mengeluarkan sepatah kata, atau lebih
tepatnya, aku tdak tahu apa yang harus aku katakan. Aku melirik ke samping,
kulihat Uzay menyandarkan kepalanya, menghadap ke luar. Pantulan wajahnya di
kaca jendela menampakkan tatapan kosong.
Uzay langsung masuk ke kamarku begitu kita sampai.
Meringkuk di dalam selimut. Aku bertanya-tanya, mungkinkah ia mengira ini
adalah rumahnya? Masuk begitu saja, tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Tapi
aku tidak kuasa menahannya, maka aku membiarkannya saja. Aku masuk dapur,
menjerang air panas dan membuat teh. Aku pernah membaca sebuah artikel di
majalah, jika ada orang yang tertekan jiwanya, maka buatkanlah teh hangat.
Aku masuk ke dalam kamar, membiarkan pintu terbuka
lebar, menaruh cangkir teh di atas meja kecil sebelah tempat tidur, kemudian
membuka tirai jendela lebar-lebar. Aku hanya duduk diam di pinggir kasur.
Berdebat dengan pikiranku sendiri, apakah aku harus meninggalkannya sendirian
atau menunggunya. Siapa tahu dia butuh telinga untuk mendengarkan kesedihannya.
Ketika aku memutuskan untuk keluar, aku mendengar
isakan. Aku menoleh cepat ke arahnya dan benar saja, Uzay mulai menangis. Aku
mulai tersadar. Aku ingat bahwa sejak pertama melihat Uzay kemarin sore di
rumahnya, aku belum melihatnya menangis. Tapi melihatnya menangis kali ini, justru
membuatku lega. Setidaknya ia tidak diam saja, melancarkan tatapan-tatapan
kosong dan justru kalau Uzay diam seperti itu, aku takut terjadi sesuatu
padanya.
Aku kembali terduduk. Mendengarnya menangis.
Menunggunya berbicara.
“Aku membunuhnya, Ry,” suaranya parau.
“Jangan menyalahkan dirimu. Aku tahu ini berat,
beraaat banget. Aku tahu, apa yang membuatmu merasa bersalah. Tapi percayalah,
Zay, itu hanya perasaanmu saja,” aku tidak yakin dengan perkataanku ini, tapi
aku melanjutkannya juga, “ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan kenapa
dan salah siapa. Yang terpenting, berdoalah dan minta maaf. Oke!”
“Kalau saja aku nggak menyumpahinya, mung...”
“Cukup.” Potongku cepat. “Sekarang minum tehnya,
terus ambil wudhu dan shalat ashar!”
Beberapa hari kemudian aku bisa melihat perubahan
kecil pada diri Uzay. Tidak semenakutkan kemarin. Di kelas aku menangkapnya
tertawa ketika mendengar lelucon-lelucon konyol teman sekelas. Yah, walaupun
habis itu dia tampak murung lagi, tapi setidaknya ada kemajuan.
Pulang sekolah aku menawarinya jalan-jalan.
“Beteng Malioboro?” Uzay menggeleng.
“Tamansari? Parangtritis? Kaliurang? Prambanan?”
Jawaban tetap sama.
Aku duduk diam di belakang setir, menyerah.
Menunggu perintah mau kemana saja.
“Aku kangen Eksak!” celetuknya. Tanpa disuruh, aku
langsung tancap gas menuju ‘rumah’ Eksak. Jujur, pikiranku berkecamuk. Sedih,
takut, lega.
Ya Allah, apakah ini cara ajaibmu untuk membuat
mereka berdua akur? Kenapa bukan dengan cara lain? Yang lebih sederhana? gumamku
dalam hati.
Sesampainya di sana, aku berdiri di belakang Uzay
yang mulai sibuk berbicara dengan Eksak. Aku hanya mampu berdiri, menatap
mereka ‘akur’ untuk pertama kalinya dan jujur, pemandangan itu membuat... oh...
air mataku menyeruak ke luar. Untuk pertama kalinya juga sejak Eksak pergi
jauh. Tapi aku tidak akan menghapusnya. Aku hanya mundur beberapa langkah
sebelum berbalik ke mobil dan mulai terisak kencang.
Pelajaran yang aku petik. Pertama, aku bersyukur
mempunyai Mas Irwan yang begitu sayang padaku. Kedua, sebenci apapun, semarah
apapun, semuak apapun kita dengan saudara atau orang lain, jangan pernah
menyumpahi dengan doa kasar. Karena kita tidak tahu, apakah Allah akan
mendengar dan mengabulkannya ataukah Allah hanya mendengar saja. Dan hal paling
aman adalah diam, meredam dengan hati dingin. Sembari mengukur seberapa dalam
kesabaran kita, dan jika tidak cukup dalam, kita bisa melatihnya. Bukan hal
berat, justru akan menjadi hal yang menyenangkan sekaligus menyejukkan.
Percayalah!
P.S :Eksak : Eks, maaf, nggak bermaksud nge-bully kamu (walaupun kenyataannya begitu, hehe, piss...). Bukan salahku kalau aku memakai namamu. Dan SELAMAT ULANG TAHUUUN :DUzay : Zay, inget, aku udah ijin lho, tapi nggak janji bikin cerita yang hepiiii...
55 comments
Coba masukin tabloid ni cerpennya, siapa tau diterima :))
wury ceritanya bgus.. semoga bisa menang di GA nya ya wur :)
ini based on true story tapi Eksak belum meninggal yah?
1. Speechless
2. kok tau banget sih sifat gw emang kaya gitu?? keras kaya batu n ngga gampang tersentuh kalau ada musibah sekalipun
3. uhuk Wury romantis bener dah ah haha..
4. kasian eksak dimana-mana dia ngga beruntung *digampar eksak..
5. sukses GA nya...
waaa kereen ceritanya. smoga menang yach :)
wahh, semakin banyak nih pesaing mendapatkan hadiah di ultah si Eksak! hihiiii...
wury ini keren looh, aku ga bisa nih bikin cerita seperti ini.. sukses ya GA nya ;)
ijin nyimak sobat
Uzaynya lagi nyimak tuh wur
hehehe
bikin merinding ceritanya
apalagi waktu kamu nerima sms dari uzay
Baguuuuus, wuryyyyy...aku sukaaaaa ^_^
Two thumbs up buat kamu darling! d(^_^)b
I wish u luck for GA!
@Faizal Indra kusuma Nggak pede ah :D
@Aiinizza Wynata Oya? Hihihi, makasiiiih cantik :)
@Ario Antoko Bukan, ini fiksi kok Rio :), Eksak belum meninggal, tuh orangnya lagiii... ngapain ya? Tidur kale :D
@Uzay ^,^ Aduuuh, siap-siap kena lempar botol nih kalo Eksak sampe sini, hehehehe... malang bener nasibnye dimana-mana :D
@nita terima kasiiih :D
hoohoo... puanjang banget,...
diselubungi amanat yang dalem bgt maknanya..
keren.. :D
@Bung Penho Apakah aku termasuk pesaingmu, Bung? :D
@NF Alah, mbak NF pasti bisa. Punya mbak NF juga bagus, kasihan eksak patah hati :D
@Falah Mulyana Selamat menyimak :)
@rizki_ris Merinding? Aduh, kayak cerita horor dong Riz, hehehe...
Hu'um, yang penting dah ijin ah :D
@Mayya Four thumbs up for me dooong, mbaaak :D
Thanks, Mbak :D
Yah ga pede, harus PD dong... Pasti bisa ayoayoayo :))
mampir...lagi. mantapss
wahhh. sadis, si eksaknya mati, bener bener gawat nie. hahha. tapi seru, ada nilai sedih dan penyesalan, sebelum itu terjadi (ups, jangan lah ya) hanay untuk di ambil pelajrannya saja. kita akan selalu sayang sama keluarga. sukses buat lombanya.
wow....ceritanya bagus banget wur....
memang ya sesuatu baru terasa begitu berarti saat dia sudah tak ada lagi di dekat kita ya, seperti uzay yang kangen dengan eksak setelah eksak meninggal ya...
Hiks...ikutan nangisss :(
kudu ati2 juga ye dalam berdoa.
hihihi, lagi2 eksak jadi objek penderita 1, 2, 3, dan seterusnya, sungguh malang nabib mu sak ... :D
sukses ya sama GA nya :D
wich,mantab ceritana mbak...sumprit mantab.
@Wury
Gue masih belum menyatakan ikut non! kan lagi bingung mo nulis apa heheheee...
Cerita yang sangat menarik. banyak hikmah yang bisa di petik.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un... Smoga eksak diampuni karna lagi ultah! Huhuhu...
Wurrrr...! That's me? Whoaaa, what's a pity me! Semoga eksak tmbah ganteng, karna sering diomong orang! Bhahaha
@@@@@@@@@@@@@
dah distempel konfirm keikutsertaannya, mbak! Sukses, ya! Ane dukung yg ini! (aih...knp jd nepo?) huhuhu, kliatan gk stempelnya? Gak ya? Huhuhu...
baguss wury ceritanya, saya pikir bukan fiksi lho tadinya
semoga menang kontesnya! sukses :D
Wah Sad + Happy ending neh wury hehehe...
Eksak2 kalo ngomong tuh mbok yang halus dikit napa seh hahahha...
Ceritanya bagus wuri, pake alur mundur ya? Pesen di akhir cerita ngena :)
cerita yang menarik.....
wury cantik... ceritanya baguss..
mm.. nambahin ahhh... eksak emang keparat, yaa?? wkwkwkwwk..
kasian kasian..
spertinya ini kisah beneran.. andai emang bener.. mm.. siapa yang seneng?? bhahaha..
kidding :p
uzay emang si gingsul yang paling kalem,, hehe..
salam buat mas Irwan yaa sayank :D
cerpenmu keren-keren yak. Moga menang giveawaynya yak
Hahahaha kerennnn!
Cieee sahabatnya gingsul :D
Semoga menang yo mbak~
@Bung Penho Cari ide dulu sana, DLnya masih luama buanget kok :D
@srulz Iya nih, soalnya kalo pendek ntar cerita nggak nyampek, harus panjang nih :D
@Faizal Indra kusuma Waaah, kalo udah disemangatin kayak gini, mau gimana lagi :D
@PAKNING BERTUAH Iya, silakan :)
@cerita anak kost Yap, begitulah maksud yang pengen aku sampaikan, semoga berkenan ya huihihihi
@Mami Zidane terima kasih, Mami :)
Iya begitulah mi, bener ya penyesalan selalu datang belakangan. Maka dari itu, ayo mulai sekarang kita blablabla... walah malah ceramah huihihi... tapi maksudku dapet nggak, Mi? :D
@Si Belo Si Nay, bisa nangis juga ya? Hiks, jadi ikutan nangis juga nih :( :D
Berdoa kudu ada batasannya juga, Nay... ini kataku lhooo hihihi
@Stupid monkey he-eh, kasihan ya banget ya. Tapi eksaknya ikhlas-ikhlas aja kok walopun dijadiin objek penderita terus hehehehe
Okee, makasih ya :D
@Agriculturproduct Beneran nih?
@Djangkaru Bumi Makasih :)
@eksak Mana stempelnyaaaaa, nggak keliatan :D
Aduuuh, anak ganteng, maap yee, tak doain tambah ganteng aja deh :D
@Tiesa Makasih ya, Tis. Kayak beneran ya. Aduuuh, jangan deh kalo beneran hehehe
@Anak Rantau Hu'um, aku lebih suka pake alur mundur, bisa ngejelasin semuanya hehehe
Iya, tuh, si eksak sekate-kate aja ngomongnya :D
@Aninda Naima Terima kasiiih :)
@cah_kesesi_ayutea Lhaaaah, kok malah kayak ada yang seneng yaaa? hayooooo, si cantik satu ini kayaknya ada 'sesuatu' nih, huihihihihi
Emang Uzay kalem ya? Aduh, ngepas aja nih.
Mas Irwan? Tokok khayalanku ada yang naksir jugakah? :D
Salam balik katanya, Mas Eksak :D
@Teguh Budi Waaah, memuji nih. Makasih yaa :D
@Tebak Ini Siapa Iya niiih, sahabatn sama gingsul hihihi
Oke deh, doanya aja deh, Un :D
@Wury eeiittss.. wury sayang... tak boleh gosiip.. ckckckk
ehh boleh ding.. :D
Posting Komentar