http://www.ministrywatch.com/App_Themes/Gifs/star.gif

Pages

Subscribe Twitter Facebook

Jumat, 30 Desember 2011

Janji Itu (bukan) Sebuah Beban

“YHEEEEE!” Aku melompat saking senangnya dan tanpa sadar aku memeluk seseorang di sampingku. Aku terlalu senang, sampai-sampai aku nggak sadar dengan apa yang aku lakukan. Semakin lama suasana yang rame mendadak sunyi senyap, seakan teriakan-teriakan tadi ditelan bumi dan aku tersadar seketika.
“Brengsek!” Tania menyambar tasnya dengan kasar dan berlalu tanpa berkata sepatah katapun.
Sebelum terjadi sesuatu yang nggak diinginkan, aku berlari menyusul Tania yang sudah jauh melesat melewati pintu rumahku.
“TANIA!” Aku berteriak memanggil Tania. Namun Tania nggak menggubris panggilanku.
Aku berlari cepat, akan tetapi Tania sudah berhasil sampai di seberang jalan dan menghilang di kegelapan. Aku berhenti. Dadaku naik turun karena napas yang memburu. Aku terlalu kaget dan belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Tanpa terasa, air mataku sudah mengalir deras menyusuri pipiku. Apa yang telah aku lakukan? Aku sudah mengkhianati janji yang sudah kita sepakati. Hawa dingin malam itu nggak aku rasakan walaupun aku hanya memakai kaus tipis dan celana pendek.
“Mel,” aku merasakan tepukan lembut di bahuku. Tanpa menolehpun aku sudah tahu siapa laki-laki yang sekarang sudah berdiri di sampingku. Tapi aku nggak berminat membalas panggilannya. Air mataku masih mengalir tanpa bisa aku hentikan.
“Aku nggak tau ada rahasia apa antara kamu dan Tania. Tapi aku tau sekarang ada sesuatu yang terjadi antara kalian berdua,” kata Tian sambil memainkan handphone-nya dengan kedua tangannya.
Aku menarik napas panjang, tapi aku belum tahu apa yang akan aku ucapkan. Pikiran ini masih mbundet memikirkan Tania.
“Mau ngomongin alasannya nggak?” tanya Tian.
Aku menggeleng pelan dan mulai berjalan pelan. Tanpa banyak kata, Tian mulai mengikutiku kembali ke dalam rumah. Aku kembali duduk di depan televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola, Indonesia vs Kamboja. Gol yang diciptakan Bonai beberapa menit lalu berhasil membuatku terlonjak senang sekaligus berhasil mengantarku ke dalam masalah besar, antara aku dan Tania. Pandangan mataku kosong dan aku nggak peduli dengan tatapan-tatapan bertanya teman-temanku. Tapi ternyata teman-temanku cukup baik dan mereka bersikap seakan-akan nggak ada yang terjadi. Beberapa detik kemudian, mereka kembali berteriak memberi semangat para pemain sepak bola, kecuali aku. Mataku memang terpaku di layar televisi, namun pikiranku terbang entah kemana. Aku sendiripun nggak tahu.

***

Aku melirik jam beker, 23.45. Tapi mata ini bener-bener nggak bisa diajak kompromi. Pengen banget tidur, tapi nggak bisa. Teman-temanku udah pulang setelah pertandingan sepak bola yang dimenangkan oleh Indonesia selesai.
Pikiranku melayang jauh ke dua bulan silam. Saat-saat aku dan Tania membuat janji tertulis, resmi bahkan memakai materai segala. Aku bangun dan mulai berjalan menuju meja belajar. Aku mengeluarkan kertas berwarna pastel dari dalam laci.

Janji singkat kita
–Mela & Tania-

Hari ini, 29 Oktober 2011, kita berdua sepakat untuk membuat janji. Tulisan ini dibuat tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Adapun janji yang sudah kita sepakati adalah sebagai berikut di bawah ini :
1.      Tidak boleh menyimpan satupun rahasia, karena rahasiamu adalah rahasiaku.
2.      Tidak boleh menonton film 17+ sebelum kita 18 tahun karena kita baru 16 tahun.
3.    Tidak boleh mencontek pas ulangan walaupun dalam keadaan mendesak sekalipun.
4.     Tidak boleh mendapat nilai kurang dari 5.
5.      Tidak boleh memakai bedak sebelum kita lulus SMA karena akan merusak kulit muda kita.
6.     Tidak boleh menghina dan atau menjelek-jelekan orang lain karena itu perbuatan tercela sedunia.
7.     Tidak boleh bersikap kecentilan di depan cowok manapun.
8.      Tidah boleh suka sama cowok yang sama.
9.      Tidak boleh bersentuhan apalagi berpelukan dengan cowok yang Mela atau Tania suka.
10.  Tidak boleh pacaran tanpa sepengetahuan sahabat sendiri karena itu berarti mengkhianati masing-masing dari kita.

Barang siapa melanggar janji tertulis di atas ini, masing-masing dari kita berhak mendapat konsekuensi. Adapun konsekuensi yang kita berdua sepakati adalah sebagai berikut :
1.      Konsekuensi ringan untuk poin 1 s.d 7 :

Tidak ada canda, tawa, dan sapaan selama 3 minggu.

2.      Konsekuensi berat khusus untuk poin 8 s.d 10 :

Istilah SAHABAT perlu dipertanyakan.

Demikian janji singkat kita –Mela & Tania- .
2+2=4
5+6=11
Itu bukan pantun cuma itung-itungan biasa aja kok. Cukup sekian dan terima kasih.

With Love,
Mela ^_^
Tania ^_^

Mataku terpaku di poin 8 dan konsekuensi berat yang memang membuatku berat. Sekilas aku menyesali janji yang kita buat. Aku merasa frustasi. Akankah persahabatanku dengan Tania akan hilang tanpa jejak dan nggak bisa ditolerir lagi hanya karena sebuah perbuatan yang aku sendiri masih nggak ngerti sampai detik ini.
Ya, Tian adalah sosok laki-laki yang Tania suka sejak beberapa bulan yang lalu. Dan itu artinya, aku nggak boleh bersentuhan ataupun berpelukan dengan Tian. Tapi apa yang aku lakukan tadi? Memeluk Tian. Tapi kan itu refleks, suatu tindakan yang nggak bisa dikendalikan begitu saja. Harusnya Tania tahu apa yang aku lakukan adalah tindakan refleks, tapi kenapa reaksi Tania begitu berlebihan.
Sudah ratusan kali aku telepon Tania, akan tetapi nihil. Tania nggak sudi mengangkat teleponku dan terakhir hanya suara operator yang tertangkap gendang telingaku. Handphone Tania nggak aktif. Terpaksa semua kegundahan aku bawa ke dalam mimpi.

***

Aku berjalan menuju kelas XI IPA-1 dan segera memasuki kelas dengan langkah lunglai. Aku bertambah lunglai ketika tahu bahwa kursi kesayanganku sudah ada penghuninya. Aku melihat kursi sebelah sudah teronggok tas milik Tania, tapi entahlah kemana dia pergi.
“Dila, kok kamu duduk di sini?” tanyaku kepada Dila.
“Maaf ya, Mel, tapi tadi Tania yang nyuruh aku duduk di sini. Katanya mulai sekarang kamu duduk sama Agnes,” jawab Dila pelan. Aku tahu Dila salah tingkah dan merasa nggak enak denganku. Akan tetapi aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung.
Aku berjalan ke bangku deretan paling depan mendekati Agnes yang baru sibuk mencatat sesuatu. Sewaktu berjalan ke arah depan, aku berpapasan dengan Tania. Tapi sayang, Tania nggak menggubris sapaanku. Ya sudahlah, Tania masih emosi, walaupun aku jelasin sampai mulut berbusa sekalipun mungkin Tania tetep nggak mau tahu. Nanti aja kalau udah agak reda emosinya, batinku.
“Agnes, sekarang aku duduknya sama kamu, ya,” ujarku dan dibalas dengan senyuman dan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya mempersilakan aku duduk.
“Aku lagi nyalin catetan Biologi, nih. Kemarin aku kan nggak masuk, hehe...!” jelas Agnes tanpa kuminta.
Bel masuk sudah berdering, tapi entah kenapa Bu Sarah guru Fisika belum juga masuk kelas. Sambil menunggu Bu Sarah, aku dan Agnes mengobrol banyak hal.
“Mela,” aku mendongak ke arah pintu dan menangkap sosok Tian tersenyum ke arahku. Aku terlalu shock dan takut sampai-sampai aku nggak berani menoleh ke arah Tania. Tapi tanpa menolehpun aku bisa menebak bagaimana wajah Tania. Aku menunduk dan setengah berharap Tian pergi dan segera menuju kelasnya sendiri yang berada di sebelah kelas XI IPA-1 yakni kelas XI IPA-2.
Akan tetapi harapan tinggal harapan. Tiba-tiba Tian sudah berada tepat di depanku dan jongkok memandangku yang sedang sibuk menunduk. Untuk mengalihkan perhatian dan mengusir grogiku yang mulai kumat, aku memutar posisi duduk ke belakang dan disambut oleh tatapan bertanya Sintia.
“Mel, kamu kok aneh gitu sih?” ujar Tian sambil menepuk bahuku. Aku tetap bergeming walaupun sekarang Tian mulai menggoyang-goyang bahuku. “MELA!” kata Tian sedikit berteriak dan kali ini aku menyerah. Perlahan aku kembali menghadap depan dan dihadapkan sosok Tian yang tajam menatapku.
“Ada apa?” tanyaku pelan.
“Nggak. Aku cuma mau pinjam motormu aja kok. Boleh kan?” sahut Tian. Tanpa banyak omong, aku mengulurkan kunci motorku karena yang ada di pikiranku hanya Tian pergi dari hadapanku sebelum Tania semakin benci sama aku.

***

Aku membelokkan motorku ke pom bensin.
“Sepuluh ribu aja, Pak,” kataku. Aku membuka jok motor dan mataku menangkap kertas yang terlipat sedemikian rupa. Penasaran. Kertas apa, perasaan aku nggak pernah menaruh kertas di jok. Sembari menunggu motorku diisi bensin, aku memungut kertas itu dan menangkap sekilas sebuah nama TIAN.
“Sudah, mbak,” ujar bapak itu.
“Oh iya, Pak. Ini, terima kasih, Pak!” sahutku sambil mengulurkan selembaran uang sepuluh ribuan dan menuntun motorku ke depan.
Karena penasaran, aku nggak langsung pulang. Aku berjalan menuju bawah pohon cemara yang ada di sekitar pom bensin. Aku menatap kertas yang melambai-lambai ingin segera dibaca. Entah apa yang terjadi, keringat dingin mulai keluar.
“Tian? Ngapain Tian ngasih aku surat segala?” gumamku.
Dengan tangan sedikit gemetar, aku mulai membuka lembaran kertas itu. Mataku terpaku menatap rangkaian kata demi kata yang ditulis oleh Tian.

Dear Mela,
Hai, Mel. Kaget ya? Atau malah bertanya-tanya kenapa aku pake kirim-kirim surat segala? hehe... kalau kamu bingung, ayo Mel, kita tos. Sama aku juga bingung kok bisa-bisanya aku kirim surat ke kamu. Aku nggak bisa nulis surat yang baik, jadi to the point aja yah, karna aku emang nggak suka yang namanya basa-basi karna memang bahasaku udah basi dari tadi.

Walaupun keningku berkerut, tapi aku tersenyum juga membaca kalimat Tian barusan. Senyum-senyum di pom bensin gini sebenernya aneh tapi biarin ajalah. Aku meneruskan membaca surat dari Tian.

Mel, sejak kejadian tadi malem di rumah kamu tepatnya pas kamu meluk aku, jujur aku merasa aneh. Deg-degan itu pasti dan kaget juga dapet pelukan dari kamu, Tapi aku lebih kaget lagi dengan sikap Tania yang tiba-tiba pergi sambil berkata “Brengsek”.
Aku nggak bodoh, Mel. Aku bisa melihat ada sesuatu yang terjadi antara kalian. Bukannya aku pede, tapi aku merasa ada hubungannya denganku. Aku nunggu penjelasan dari kamu, Mel. Jujur, aku nggak tega liat kamu nangis kayak tadi malem. Rasanya aku juga ikut sedih.
Kalau kamu mau, yok kita makan, aku yang traktir deh. Tapi janji ya kamu mau ngomongin alasannya. Tempat dan jam aku serahin ke kamu.

Salam,
Tian

Entah kenapa, debaran jantungku menderu melebihi kadar normal membaca surat dari Tian. Tian merasa sedih melihat aku nangis, kenapa? Aku nggak berani menebak-nebak, karena aku takut tebakanku justru membuat aku pusing tujuh keliling. Tapi apa mungkin Tian suka sama aku?

***

Sudah tiga hari berlalu sejak Tian mengirimi aku surat, aku belum memberikan jawaban tentang ajakan Tian. Tapi sepertinya Tian mengerti, buktinya Tian nggak mendesak atau menagih ajakannya. Kalau dipikir-pikir, Tian baik banget, inilah sosok cowok yang aku dambakan. Tapi kenapa harus Tian?
Aku belum berhasil mengajak ngobrol Tania. Setiap aku mendekat, Tania menghindar dan sikapnya itu membuatku tersiksa. Nomor handphone Tania nggak aktif sejak dua hari lalu. Mungkin Tania sengaja ganti nomor, pikirku.
Aku duduk di pojokan kantin. Sudah tiga hari ini Agnes menggantikan posisi Tania. Ke kantin, ke kamar mandi, bahkan jalan dari kelas menuju parkiran Agnes selalu ada di sampingku. Pernah sekali Agnes bertanya ada apa dengan aku dan Tania, tapi aku hanya menggeleng dan tersenyum enggan menceritakan yang sebenarnya.
Aku mengedarkan pandangan dan tiba-tiba sosok Tian tertangkap oleh mataku. Aku sontak berdiri dan menghampiri Tian.
“Tian, pulang sekolah kamu ke rumahku, ya,”ujarku kepada Tian.
“Jadi udah mutusin, nih. Oke, ntar kamu duluan aja. Kita nggak usah bareng.” sahut Tian. Jawaban Tian membuatku tersenyum dan aku semakin yakin kalau Tian cowok pengertian.

***

Bel tanda berakhir pelajaran akhirnya berkumandang juga. Aku cepat-cepat menuju parkiran tanpa Agnes. Aku kepengin cepat-cepat sampai rumah.
Sesampainya di rumah, aku langsung berganti baju dan duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Tian. Tak lama kemudian Tian datang dan memarkir motor di depan rumah. Aku berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Tian.
“Ngobrol di dalam aja, ya!” ajakku. “Tunggu di sini bentar, aku buatin minum dulu. Ibuku baru pergi jadi nggak ada orang di rumah!” jelasku. Kemudian aku berlalu menuju dapur.
“Beneran kamu mau tau?” tanyaku kepada Tian sambil mengangsurkan jus jeruk ke meja. Aku duduk di sebelah Tian.
“Yah, aku sih cuma pengin bantu kalian aja. Aneh banget tau nggak, tiba-tiba hubungan kalian pecah gitu aja. Banyak lho, Mel, yang penasaran!” sahut Tian.
Aku ragu sejenak. Tapi setelah aku pikir-pikir, curhat sama Tian nggak ada salahnya kok. Ya siapa tahu Tian beneran bisa bantu, lagian aku udah mulai cenat-cenut dengan masalah ini. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kata-kataku mengalir lancar terkendali. Mulai dari awal persahabatanku dengan Tania sampai janji-janji yang kita buat. jadi secara otomatis Tian sekarang tahu bahwa Tania suka sama Tian.
“Ya gitu ceritanya, Tian,” aku mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Mela, di dalam persahabatan itu nggak ada yang namanya janji-janji tertulis atau apalah. Persahabatan itu adalah suatu hubungan yang tulus, dari sini,” Tian menyentuh dadanya sendiri.”Dari hati,” imbuhnya kemudian.
“Jadi apa yang udah aku dan Tania lakuin itu salah?” tanyaku polos.
Tian menggeleng pelan sambil tersenyum.”Nggak tepat kalau dibilang salah, cuma kurang pas aja. Jadi sebenernya hubungan kalian bisa kok diperbaiki lagi, asal kamu bisalah ngomong baik-baik sama Tania.”
“Udah dari tiga hari yang lalu aku pengen ngomong baik-baik sama Tania. Tapi Tania sendiri yang selalu menghindar kalo ada aku. Nomor hapenya juga udah nggak aktif lagi. Aku harus gimana, Tian?”
“Pake aja surat. Tania pasti bisa ngerti kok!” usul Tian.
“Tapi bentar deh, aku mau nanya sama kamu,” aku tersenyum usil dan disambut dengan muka bingungnya Tian.
“Apa?” tanyanya.
“Emm... kamu suka nggak sama Tania?”
Bukannya menjawab, Tian malah senyum-senyum sendiri. Sebelum menjawab, Tian tarik hembus napas.”Kalo boleh jujur, Mel, sebenernya aku ada ‘something’ sama kamu bukan Tania. Tapi belum parah kok, jadi sebelum parah mulai sekarang aku pengen buang ‘something’-ku itu. Sahabat?” tanya Tian sambil mengulurkan kelingkingnya. Walaupun ada sedikit rasa kecewa dengan pernyataan Tian barusan, aku tetap tersenyum dan menautkan kelingkingku. Sahabat.

***

Pagi-pagi aku meletakkan surat di bangku Tania sebelum dia masuk kelas. Sambil menunggu, aku duduk manis di bangkuku sendiri. Tak lama aku melihat sosok Tania memasuki kelas dan mulai berjalan menuju bangku. Aku menoleh dan melihat Tania memungut surat itu dengan bingung. Tania menoleh ke arahku, aku tersenyum manis walaupun Tania masih memasang muka sadis, tapi nggak apa-apalah. Mudah-mudahan Tania bisa ngerti.
Istirahat pertama aku masih setia menempel di kursi walaupun Agnes udah ngajakin aku ke kantin. Aku nggak berminat ke kantin, aku masih menunggu apa reaksi Tania setelah membaca suratku.
“Mela.” Aku mendengar seseorang memanggilku.
Aku menoleh dan dihadapkan dengan wajah bunga-bunganya Tania. Kaget dan bahagia campur aduk jadi satu.
“Depan kelas yuk!” ajakku. Kita bergandengan menuju depan kelas dan nggak peduli dengan tatapan-tatapn bingung teman sekelas. Yap, selama tiga hari kemarin banyak yang bertanya-tanya tentang hubunganku dengan Tania.
“Mela, maafin aku!” Tania memegang tanganku erat. Aku mengangguk-angguk cepat dan kita berpelukan di depan pintu kelas.
“Cieeee... baikan nih, yeee!” aku dan Tania nggak mempedulikan celetukan-celetukan teman-teman.
Heh... bahagianya baikan lagi. Rasa-rasanya terbebas dari belenggu mimpi buruk. Begitu melegakan. Tian mendekat dan bersalaman dengan kita berdua. Awalnya aneh dengan sikap Tian yang pake acara salam-salaman segala, tapi akhirnya kita sambut juga uluran tangan Tian itu. Kemudian hanya tawa kita bertiga yang terdengar. Sahabatku bertambah satu cowok baik hati. Tian.

***

Dear Tania,
Kangen kamu. Kalimat pembuka yang aku tulis, karna memang itu yang aku rasakan setelah tiga hari kamu kacangin.
Sahabatku, aku tau apa yang kamu pikirkan tentang aku. Sahabat yang nggak menepati janji, pengkhianat atau apalah terserah kamu. Tapi asal kamu tau, Tan, aku nggak ngerti dengan apa yang terjadi sampai sikap kamu benci sama aku. Janji-janji yang kita buat, aku mulai merasa itu hanya sebuah beban untuk kita. Jadi pintaku, anggap aja kita nggak pernah membuat janji-janji yang hanya bikin persahabatan kita renggang.
Persahabatan itu lisan bukan tertulis dan sahabat itu harus ‘saling’. Saling memahami, saling mengerti dan saling memaafkan. Aku minta maaf dengan apa yang telah aku lakukan. Tulus dari hati.
Kehilangan kamu adalah satu hal menyakitkan buatku, Tan. Maaf, tanpa berembug dulu dengan kamu, aku udah bakar janji-janji tertulis kita. Kenapa? Karena aku nggak mau ‘lembaran kertas’ itu menjadi sesuatu yang membuat kita jauh.  Jangan sampai arti persahabatan dihilangkan begitu aja hanya oleh ‘selembar kertas’. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun juga.
Aku sayang kamu.

Mela

Posting Komentar

 
Powered by Blogger